Saturday, March 12, 2016

Dara

untukmu yang setia
enggan dipanggil merpati

transit di stasiun lamunan seorang penyair miskin
hendak saling mengikatkan surat di kakinya

kala itu,
mereka membangun sangkar dari ranting dan pepohonan
sebelum memasuki kereta yang menginjak-injak akar
sebelum mendengar riuhnya turbin di balik hujan
dan sebelum "mereka" para penyeberang ternanar
tertabrak kereta kuda berponi yang lamban

ia pun rela tak terbang ke atas
"Jenuh," katanya.
demi mengicip tunasosial ke bawah
di kawasan menengah namun menjulang tinggi
riuh gundah gulana penyuka ramai
di mana polusi ibu kota buat topeng di wajah
dan nostalgia buku-buku romansa
dan sumringah senyum satir di kata

kala itu,
aku diajaknya terbang ke dalam gerbong
melihat gurauan kosong
jauh di mata dekat di asa
kotak-kotak semiotika itu mendesah
hingga kesenyapan turbin perlahan mengunci
kotak-kotak yang sudah berbaris api tertata

kala itu,
bukan tamasya sepulang bekerja

dan malam pun telat pulang,
ia segera terbang ke atas
kembali ke sarangnya di balik awan

Friday, November 20, 2015

Perspective

(Perspective: belief-> truth-> justification-> knowledge)

X: How does a symphony appear in issues? 

Y: It should be steady as a symphony in justification. 

Z: Knowledge-> perspective-> subjective. 

W: Id-> ego-> superego.

V: Knowledge.



Saturday, June 6, 2015

Riuh Rendah

Dalam putih, 
Datanglah mereka beramai-ramai 
berhijau-hijau
Baris dibuat bukan baris pemadam api
Berapi-api bersua soal sistem mengopi
Adu buku tangan bak lalu-lintas Ibu Kopi

Melangkah baiknya pengopi,
Banyak budinya pengabai nada putih
Pemangkas harmoni biru
Bergumul berbahasa abu
Hingga mendatang bergumul hitam 

Hitam mendatang pelupa pulang, 
Timbang hangat enggan bercorak putih
Hitam bumi langit tercampur kopi
Di dalamnya riuh terbahak-bahak
Terbawa hitam tenggelam berpeluh waktu 

Kopi tertumpah hati,
Manis mana tercurah kopi
Sadar bertumpah hati ke dalam 
Ampas terserap tersumbat mengasam 

Hidup hitam!
Melupa asam garam
Meradang manis asam

Hingga dimabuk nasib dan kopi,
Macan hitam alih-alih kertas
Perbendaharaan kata pun terkandas 
Terlanggar tawa bergumam



Sunday, May 31, 2015

Pergi

Ia malas bepergian namun dikendalikan pergi
Pergi pun kejemuan menasihati
Seberkas rambut bahkan sudah dipotong kompas
Menjaga usam rapi di permukaan

Jika asal mengunyah asa, pergi letih terluka
Jika asal mengunyah rupa, pergi sesuka letih

Menurutku, budi datang akal pergi sesudah asa.
Menurutmu, budi datang akal pergi sebelum asa.
Menurutnya, budi pergi akal datang sebelum asa.

Mereka yang sukar percaya angin
Tak mempersukar pandai menoleh arah
Pergi yang mungkin dikemas rapi
Tak genap masuk, tak keluar ganjil




Saturday, May 16, 2015

Akal Melintas

Waktu adalah ruang. 
Ketika ia dipetakan dengan nurani,
maka tidak sedikit luas yang hilang. Karena nuraninya 
berbeda dengan nuranimu dan nurani-Nya. 

Pernahkah ia bertanya pada keseimbangan? 

Seringkali ia mempertanyakannya. 
Mengulas hal-hal pokok yang membangun dari dalam. 
Dari dalam apa? 
Tentunya, dari dalam akar yang menjalar menurutnya benar. 

Bagaimana bisa ia memahami benarnya benar?

Kebenaran 
yang selalu ia anggap 
sebagai sebuah jalan 
menuju ruang berikutnya. 
Dalam interval yang memadai, 
ruang itu pun hanya disinggahinya belaka. 
Ia merangkai setiap kisah 
bias dalam ruang intuisi benar. 

Seberapa biaskah intuisi benar?

Perlawanan benar pun, salah. 
Ia menjamah fikrah secara berlebih 
di antara semua hal salah atau benar. 
Jika melakukan tinjau muatan nurani di dalam citra, 
dapat dipastikan keduanya melebur jadi satu. 
Bahkan citra sudah menjalari nurani berwujud 
yang menskemakan citra nurani.

Tak dapatkah kau sederhanakan lagi penjelasan tersebut? 

Intinya, ia selalu ingin mengajakmu bepergian 
Hingga masuk ke dalam ruang yang menurutnya benar. 
Namun sebelum menurutinya,
adakalanya bawalah ia pergi
bertamasya ke kebun akal melintas.




Saturday, April 18, 2015

Dalam Doa

Kaki yang mungil berlari-lari
Lembayung jingga di batas luka






Mencari daun yang berguguran
Melarungkan pelukan dalam Doa



Wednesday, March 25, 2015

Nafkah Batin

Di balik gerbang wisata
Nampak usang jendela kami
Kaca tua mendebu 
Sedang tertiup angin beralih

Redup binar pagi masuk melalui kaca jendela
Terlindung gorden di baliknya, 
Ia masih tersungkur
Ia pulas mendengkur

Ayah membesarkannya di ladang yang berpunya
Memandikannya di tambak
Memberinya makan belut
Namun tidak mengajarinya seruput 

Lain ladang lain hati,
Lain lubuk lain perangainya

Ia bekerja paruh waktu menanam nada dan doa
Ayah pun acap kali duduk di teras 
Memandang doa awan berarak
Menunggu nada rintik-rintiknya 
Senyampang melangit 
Membuat syahdu dalam renungan

Jikalau ayah mahir bercakap 
Ia, patik berdatang sembah
Guna turut jejak Abi
Sembunyi di dangau tua

Namun kini,
Ia ternanar
Ladang paceklik
Ayah pensiun dini 
Berhenti merinai hujan halau mentua
Dengung syair lama yang menua
Syair suci
Firman illahi