Ini malam senin, malam penghabisan orang libur bekerja. Seperti biasa semua orang berbondong-bondong kembali ke rumah setelah pergi entah ke mana. Yang jelas tujuannya sama. Sama-sama memanjakan hasrat dan keinginan tuntas bekerja. Namun, ini malam bukan malam biasa. Berbeda sekali orang-orang malah pergi sehabis Isya. Menyambut kedatangan hari kebersihan dosa. Besok adalah hari di mana mereka terlahir kembali. Meskipun ada yang mengunjungi sanak keluarga mereka jauh di kampung halaman, ada juga yang tidak pergi. Sibuk main api di pinggir jalan. Dengan bermodalkan bahan peledak, kelap-kelip cahaya nampak di langit hitam. Mungkin cahayanya terlihat dari satelit yang tertuju ke Negeri ini. Hingga ke pelosok kecilnya. Jika dibandingkan, masih jauh lebih benderang cahaya bulan redup dan bintang-bintang kecil. Dan malam ini bintang-bintang tak menunjukan porosnya. Kelihatannya mereka sedang bersedih. Tersaingi oleh kelap-kelip buah tangan manusia. Atau juga takut dan bersembunyi di balik awan penghujan. Bagaimana dengan Negeri tradisi asalnya?
Sepertinya tak ada kelap-kelip atau dentuman yang terpancar di indera. Hanya ada suara gemuruh Takbir yang menyuarakan kebesaran Tuhan. Tuhan, Tuhan dan kebesran Tuhan semata. Sampai-sampai suara tersebut menggelombangkan semangat ketunggalan Tuhan. Di sini banyak juga yang bergelombang, namun suaranya tidak sekaget dentuman. Saat kelap-kelip muncul, Takbir itu seolah teriris silau oleh bisingnya. Meskipun tujuannya sama, tapi induknya berbeda. Yang satu murni gelombang manusia pada Tuhannya, dan yang satu lagi semangat api pada kobarannya. Ya mudah-mudahan saja orang tidak salah tangkap suara. Ternyata di balik perbedaan itu masih sama-sama menyuarakan energi positif untuk para pengindra.
No comments:
Post a Comment