Aku sedang terduduk melas di atas kursi hitam
Dengan kedua tangan menyilang terikat besi
Berhadapan dengan Bapak berseragam cokelat-cokelat
Ia menanyakan lebam kedatanganku
Sambil menahan tinju di balik meja,
Sembunyilah ia berkat tonjolan biru di hadapannya
Intinya Bapak berseragam sedang kuceritakan
kronologi kekhilafan di tempat jual beli sandang
Hanya dengan bermodal pisau cukur rumahan,
Sepasang baju untuk lebaran kugoresi bungkusnya
Hingga berlubang dan jatuh ke tangan
Namun, apa daya
Tiba-tiba kerumunan sorak sorai datang menggetarkan persendianku
Tanpa memberi sesuap iba di pasar sederhana,
Orang-orang berkumpul dalam lautan emosi
Walaupun merugi sedikit didapat,
Sebagai Bapak mereka tak paham
Walaupun puluhan tinju kuat,
apakah pantas menuai lebam?
Bagi mereka yang hidup di dua alam
Tak kenal fungsi penghapus & rautan
Hukum negara bukanlah Supremasi bagi mereka
Sudah terbiasa hidup rimba,
Jejaki persimpangan pasar & beralih jadi pendekar
Amarah dan kebencian adalah senjata pamungkas
Bagi mereka yang berparasut terjun di dua alam
Seperti Katak yang rajin melompat
Di pinggir darat dan terpeleset ke dalam sungai
Tanpa mengukur besarnya jarak,
Tetap saja dapat hidup sejahtera
Namun, tetap saja
Aku adalah binatang terburuknya
Menyelami serabutan hitam demi sandang, pangan dan papan
Bagi istri yang sudah tiada dan anak-anakku yang terlahir dengan sengaja
Tunggu Bapak pulang ya nak
Pakaian barumu baru saja malang
Mohon tunggulah Bapak belikan yang asli
Sekarang Bapak cuma bisa sembunyi kedua tangan
Di balik dinding tebal dan jeruji besi
No comments:
Post a Comment