Gadis itu merangkulku, sekadar merangkul. Bagaimana bisa aku manangisi ibu yang sedang bersenda gurau di dalam rumah. Sementara aku berada jauh dari lingkungan rumah. Ada sesuatu yang menyedihkan tergambar di video sepuluh menit itu. Tapi itu hanyalah sebuah citra belaka. Perlukah air mata jatuh untuk ibu yang selalu aku genggam hatinya. Aku tak pernah menyakiti, menjauhi, apalagi memarahi ibu. Kira-kira dosa apa yang membuat air mata ini jatuh menetes di tanah yang jauh. Memang benar orang-orang kebanyakan menangis melihat citra itu. Tapi aku bukan orang yang mudah terpengaruh dan dapat berteluklutut di hadapan emosi Tuhan. Kemudian gadis itu, kelihatannya benar-benar tulus. Merangkul dan mengusap-usap punggungku. Ia berlaku sambil mengucap beberapa kalimat pengulangan, "Udah dikabarin belum mamamu di rumah? Kirim pesan saja kalau belum." Pokoknya ia mengulang-ulang kalimat tersebut.
Sebelumnya tidak ada kesedihan yang hinggap di batinku. Hingga jepretan paparazi dari belakang melucuti wajah penyanyang ibu. Seselesainya kegiatan ini, pikiranku melayang jauh. Ke atas langit mencari embun penyejuk hati. Kebetulan waktu masih menunjukan pukul 4 pagi. Aku berjalan keluar melewati sawah dan menginjak embun wangi. Aromanya tercium segar di bawah redup cahaya bulan. Sambil menyoroti kegelapan, aku mencari-cari si penyejuk hati. Padahal aku hanya ingin berterima kasih padanya. Sudah lama aku tidak dirangkul dalam kesedihan yang polos.
Aku tahu ia memang anak terakhir ibu dan bapaknya. Terlihat dari perilaku kurang bersahabat di sosial media yang ia geluti. Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya. Sehabis kejadian itu aku menerawang celah untuk menatap bola mata gadis perangkul. Namun, sepertinya biasa saja. Pernah sesekali kugenggam jarinya ketika ia belajar memetik nada. Kucuri pandangannya juga. Namun ia tak kunjung menatapku dalam ruang. Ia hanyalah embun di bumi perkemahan. Selebihnya ia adalah anak yang berbakti kepada orang tua. Sekarang waktu sudah bergulir begitu cepat. Tak terasa sudah setahun lalu kita berkemah. Bersama bocah-bocah desa yang mabuk doa. Memohon ampunan kedua orang tua mereka.
Sebelumnya tidak ada kesedihan yang hinggap di batinku. Hingga jepretan paparazi dari belakang melucuti wajah penyanyang ibu. Seselesainya kegiatan ini, pikiranku melayang jauh. Ke atas langit mencari embun penyejuk hati. Kebetulan waktu masih menunjukan pukul 4 pagi. Aku berjalan keluar melewati sawah dan menginjak embun wangi. Aromanya tercium segar di bawah redup cahaya bulan. Sambil menyoroti kegelapan, aku mencari-cari si penyejuk hati. Padahal aku hanya ingin berterima kasih padanya. Sudah lama aku tidak dirangkul dalam kesedihan yang polos.
Aku tahu ia memang anak terakhir ibu dan bapaknya. Terlihat dari perilaku kurang bersahabat di sosial media yang ia geluti. Tapi aku tak tahu bagaimana perasaannya. Sehabis kejadian itu aku menerawang celah untuk menatap bola mata gadis perangkul. Namun, sepertinya biasa saja. Pernah sesekali kugenggam jarinya ketika ia belajar memetik nada. Kucuri pandangannya juga. Namun ia tak kunjung menatapku dalam ruang. Ia hanyalah embun di bumi perkemahan. Selebihnya ia adalah anak yang berbakti kepada orang tua. Sekarang waktu sudah bergulir begitu cepat. Tak terasa sudah setahun lalu kita berkemah. Bersama bocah-bocah desa yang mabuk doa. Memohon ampunan kedua orang tua mereka.
No comments:
Post a Comment