Ayah senang sekali bepergian naik kendaraan umum. Pergi kemana saja maunya naik angkot. Aneh, maunya cuma naik angkot. Ia enggan menaiki kendaraan umum selain angkot. Ia memiliki angkot favorit dengan stiker angka Nomor 1 di kaca belakangnya. Kebetulan juga itu adalah satu-satunya angkot yang lewat wilayah ini. Selain itu ada satu lagi kendaraan roda empat yang lewat, namun lebih besar muatannya, Metromini. Metromini berstiker Nomor 2 di belakangnya. Mungkin karena ia ditugaskan oleh Dishub setelah angkot Nomor 1 itu. Ayahku tak pernah ingin menoleh ke Metromini Nomor 2 sekalipun. Padahal seringkali aku sudah menyuruhnya untuk menjajali Metromini Nomor 2. Ia hanya akan terus bercerita tentang pak supir angkot yang bekas tentara. Mungkin alasan lain yang membuat ayahku tidak ingin menoleh ke Metromini tersebut adalah gaya blusukan jalan rayanya. Dan kebut-kebutan yang kian makan banyak korban. Stereotype yang salah bukan.
Aku beberapa kali naik metromini itu dan sedikit bercakap pada supirnya yang berbaju kotak-kotak itu, "Maaf, bapak sudah berapa lama jadi supir metro ini?" Ia menjawab, "sudah setahun lebih nak, dan saya akan naik jabatan menjadi supir bus malam karena kegigihan saya mencapai akses jalan ke daerahmu yang terpencil ini." "Lantas siapa yang akan menggantikan bapak setelah bapak naik jabatan?" "Sepertinya mas kernet yang duduk di belakangmu itu, dia itu wakilku, suaranya juga lantang." Dan saat naik angkot Nomor 1, aku bertanya dengan menjajakan pertanyaan yang sama. Bapak supir angkot berbaju putih rapi dan berpeci. Menjawab dengan jawaban yang tak jauh berbeda. "Saya ingin naik jabatan karena jadi supir angkot itu hanya untuk beberapa orang, saya maunya jadi supir bus malam saja."
Tak habis pikir nanti siapakah yang akan mengantar ayahku bepergian? Tapi sampai detik ini, aku masih menyuruhnya untuk mencoba naik Metromini Nomor 2. Agar setiadanya mereka berdua, ayah merasa puas sudah mencoba kendaraan umum yang berbeda bentuknya.
No comments:
Post a Comment