Tuesday, December 17, 2013

PSIKOPENA VOLUME 1: INDRA PERABA





Aku bahagia sekali ketika sedang meraba. Apapun yang sudah ku raba pasti menggugah selera. Sekiranya ada jutaan lapak yang sudah ku raba. Dimulai dari sesuatu yang lembut hingga yang merenggut nyawaku. Bagiku ini adalah satu-satunya surga. Meskipun pernah mendengar mitos bahwa surga ada di telapak kaki ibu, tetap saja meraba adalah surgaku. Aku tidak pernah membayangkan surga selain indera peraba. Karena yang aku tahu aku hanya bisa meraba.
Saat ini aku sedang duduk di kesunyian malam. Tempat ini sepertinya sepi sekali. Di tempat ini, ada beberapa benda yang sudah ku raba. Benda yang berbentuk sebuah persegi panjang seukuran jari tengah tangan dan kotak sabun. Aku pernah meraba kotak sabun hadiah dari tetangga lama. Persis sekali dengan benda ini. Namun setelah ku robek bungkusnya isi di dalamnya berbeda. Isinya seperti sebuah jari yang rata ujungnya. Meskipun kotaknya lega namun isinya hanya sebuah. Mungkin benda ini sudah habis tepakai dan hanya tinggal sisanya. Aku sama sekali belum pernah menemukan benda ini. Andai aku bisa menciumnya pasti bisa lebih lega. Tetapi mau bagaimanapun aku terus mencoba membandingkan kedua benda ini. Yang satu sebilah jari dan yang satu lagi dua bilah jari. Yasudahlah aku anggap saja menjadi tiga buah jari.  
Daripada terus membayangkan, ku lumat saja satu persatu. Yang pertama ku lumat adalah yang paling kasar bentuknya. Mungkin ini semacam plastik berujung besi. Besi yang berbentuk sepertiga bulat dan agak kasar. Lidahku yang tak bertulang sedikit tergores setelah menjilatnya. Sebenarnya aku hanya ingin memastikan saja bahwa ini bukan makanan. Dan satu-satunya alasan mengapa aku senang meraba ya hanya karna makanan. Sayang sekali jika ini bukan makanan.
Lanjut pada benda yang kedua aku sedikit lebih penasaran. Bentuknya seperti panjang batang kemaluan yang tipis, lembek dan mudah sobek. Ciri-cirinya nampak seperti makanan. Tapi sepertinya bukan, soalnya sedikit memilukan ketika masuk ke tenggorokan. Ujung bawah dan atasnyapun berbeda. Yang atas mudah sobek dan yang bawah seperti busa. Atau bisa saja terbalik. Agak sulit membayangkan benda yang ujungnya kian berbeda. Seperti membayangkan perbedaan bulan dan bintang. Sesekali aku pernah mendengarkan keindahannya. Namun hanya sebatas imajinasi aku bermimpi di lautan angan-angan. Banyak orang yang bilang mimpi kelak menjadi kenyataan. Nyatanya untukku mimpi itu membosankan. Penuh harapan yang menggiurkan. Aku benar-benar muak akan harapan.
Teringat pada kejadian setahun lalu, ketika aku terbangun di sebuah jalan. Sinar matahari pagi menyinari jalan. Sepertinya sudah jam sembilanan. Aku tahu hal tersebut karena tubuhku mulai merona kepanasan. Seringkali kedapatan merasakan orang berjalan lalu-lalang, aku merasakannya seperti getaran gempa yang ringan. Kadang aku memberhentikan langkahnya demi menghilangkan rasa penasaran atas alas yang mereka gunakan. Pernah sesekali aku mendapatkan hadiah sepasang alas. Namun rasanya tidak seperti demikian. Sampai ketika ada lelaki muda yang menjelaskanku alas dari sebuah harapan.
“Dik kamu biasa dimana?” tanyanya padaku. “Dimana-mana tuan.” Jawabku.
“Kau seperti aku yang tak pernah kenal jalan. Tahukah kau aku sudah diludahi sepanjang jalan. Bodohnya aku tidak dapat melawan. Mungkin karena aku sulit memakai alas dan pakaian, alas yang ku pakai hanyalah sebuah harapan.”
Sambil mendengarkan cerita harapannya, aku merasakan ada hembusan udara yang tidak biasa. Aku tahu ini bukan hembusan nafasnya. Tekanannya cukup menyadarkanku. Meskipun tidak bisa merasakan bau, aku sadar telah menghirup udara kasar. Aku pernah menghirup asap tak segar ini ketika ada sekelompok orang yang berteriak kebakaran. Tapi tekanannya terlalu kuat mendorong pernafasan. Jika dibandingkan dengan ini masih terlalu lembut dan hanya sedikit lebih kasar. Aku bertanya kepada lelaki muda itu, “Apakah harapanmu dikelilingi oleh hembusan asap?”. Sambil menyodorkan jarinya ke mulutku dia berkata, “Hisaplah, kemudian hembuskan perlahan, seketika harapanmu akan menggelora seperti baja.” Detak jantungku yang cepat menurun drastis. Irama jantungku perlahan melambat juga. Ketenangan yang baru pertama kali ku rasakan. Dan pikiranku lega tanpa beban. Dipenuhi bayangan dan berangan-angan, aku berimajinasi tentang harapan.
“Tolong beri tahu tuan, inikah sebuah harapan?”
“Ini hanyalah sebatang alat pemicu harapan, satu-satunya teman yang menemaniku berjalan mengelilingi pahitnya kehidupan. Hidup gelandangan tanpa pakaian namun penuh harapan di pinggir jalan.”
“Beri aku sebuah nama, maka aku akan mengingat dan mencarinya dengan indera peraba yang ku punya,” kataku penasaran.
Tanpa mendengar sebuah jawaban dia meninggalkanku sendirian. “Tuan, tuan, tuan!” begitulah sedikit pengalamanku tentang harapan.
Kembali melumat sebatang jari di mulut aku mulai sadar. Inilah alat pemicu harapan yang pernah aku hisap. Setahun lamanya aku telah memalingkan wajah. Sebatang, bukan sebilah! Aku mulai mengenal aroma sebuah harapan!
Aku mencari tahu kembali meraba dua buah jari yang saling berdempetan. Ku gesekan besinya dengan jempolku secara perlahan. Sepertinya gesekan ini membuat dia bergerak. Pelan-pelan seperti ada yang berubah. Dan akhirnya muncul sedikit percikan yang membuat jariku kepanasan. Aku tau ini bukan kayu bakar. Nampaknya ini adalah alat untuk membakar. Beberapa kali menggeseknya aku mendapati kehangatan dan kerinduan akan sebuah harapan. Aku tau apinya bisa menimbulkan asap jika ku arahkan ke sebuah benda kertas. Kertas yang sedikit kasar masuk ke tenggorokanku. Mungkin itu bisa membakarnya!
Ku taruh sebatang jari yang ujungnya tumpul di mulutku. Ku posisikan alat pembakar segaris lurus dengannya. Kemudian percikan api mulai membakarnya perlahan. Dan muncullah gumpalan asap di depan hadapanku.       
 “Hahaha, akhirnya harapanku datang!”
”Lihatlah tuan aku sudah menemukan!”
Aku kaget dan berteriak kegirangan. Sambil membolak balik sebatang jari, mulut dan jariku mengeluh kesakitan. Tetapi walaupun kesakitan aku tetap saja berteriak kegirangan. Dentuman jantungku menurun perlahan dan harapanku mulai berdatangan. Akhirnya aku menemukan posisi yang pas layaknya berteman dengan sebuah batang. Di pandangi langit dan bintang, aku terus saja berteriak akan harapan, 
“Aku ingin memiliki kekasih sepertimu tuan.”
“Meskipun tak berpakaian kau telah mengenalkanku arti sebuah harapan.”   
“Lebih dari itu, aku ingin menjadi seperti dirimu, tuan.”
“Berjalan tanpa arah, dipenuhi angan-angan.”
Hisapan demi hisapan masuk ke dalam rongga pernafasan. Aku menikmatinya sebagaimana aku bisa menikmati kehidupan. Aku bersyukur sekali bisa memiliki indera peraba. Meskipun tidak menemukan makanan aku telah mengakhiri rasa penasaran. Dengan segumpal asap tebal yang menemaniku aku makin bersyukur. Kini aku memiliki teman yang memberikan sebongkah perhiasan. Perhiasan yang membawaku memikirkan mimpi yang awalnya ku anggap begitu membosankan. Aku sadar betul bahwa mimpi itu sangat menkjubkan. Dan setelah berteman dengan gumpalan asap, aku tau kemana harus melangkah. Sambil memikirkan sang Tuan, aku melucuti satu persatu pakaian yang ku kenakan. Mungkin aku sudah tergila-gila dengannya. Sampai ketika dimana asap itu berhenti berhembus aku masih memikirkannya. Dan ketika percikan apinya sudah menghilang aku menyegerakan untuk mencari langkah sang tuan.

No comments:

Post a Comment