Aku
bahagia sekali ketika sedang meraba. Apapun yang sudah ku raba pasti menggugah
selera. Sekiranya ada jutaan lapak yang sudah ku raba. Dimulai dari sesuatu
yang lembut hingga yang merenggut nyawaku. Bagiku ini adalah satu-satunya
surga. Meskipun pernah mendengar mitos bahwa surga ada di telapak kaki ibu,
tetap saja meraba adalah surgaku. Aku tidak pernah membayangkan surga selain
indera peraba. Karena yang aku tahu aku hanya bisa meraba.
Saat
ini aku sedang duduk di kesunyian malam. Tempat ini sepertinya sepi sekali. Di
tempat ini, ada beberapa benda yang sudah ku raba. Benda yang berbentuk sebuah
persegi panjang seukuran jari tengah tangan dan kotak sabun. Aku pernah meraba
kotak sabun hadiah dari tetangga lama. Persis sekali dengan benda ini. Namun
setelah ku robek bungkusnya isi di dalamnya berbeda. Isinya seperti sebuah jari
yang rata ujungnya. Meskipun kotaknya lega namun isinya hanya sebuah. Mungkin
benda ini sudah habis tepakai dan hanya tinggal sisanya. Aku sama sekali belum
pernah menemukan benda ini. Andai aku bisa menciumnya pasti bisa lebih lega.
Tetapi mau bagaimanapun aku terus mencoba membandingkan kedua benda ini. Yang
satu sebilah jari dan yang satu lagi dua bilah jari. Yasudahlah aku anggap saja
menjadi tiga buah jari.
Daripada
terus membayangkan, ku lumat saja satu persatu. Yang pertama ku lumat adalah
yang paling kasar bentuknya. Mungkin ini semacam plastik berujung besi. Besi
yang berbentuk sepertiga bulat dan agak kasar. Lidahku yang tak bertulang
sedikit tergores setelah menjilatnya. Sebenarnya aku hanya ingin memastikan
saja bahwa ini bukan makanan. Dan satu-satunya alasan mengapa aku senang meraba
ya hanya karna makanan. Sayang sekali jika ini bukan makanan.
Lanjut
pada benda yang kedua aku sedikit lebih penasaran. Bentuknya seperti panjang
batang kemaluan yang tipis, lembek dan mudah sobek. Ciri-cirinya nampak seperti
makanan. Tapi sepertinya bukan, soalnya sedikit memilukan ketika masuk ke
tenggorokan. Ujung bawah dan atasnyapun berbeda. Yang atas mudah sobek dan yang
bawah seperti busa. Atau bisa saja terbalik. Agak sulit membayangkan benda yang
ujungnya kian berbeda. Seperti membayangkan perbedaan bulan dan bintang.
Sesekali aku pernah mendengarkan keindahannya. Namun hanya sebatas imajinasi
aku bermimpi di lautan angan-angan. Banyak orang yang bilang mimpi kelak
menjadi kenyataan. Nyatanya untukku mimpi itu membosankan. Penuh harapan yang
menggiurkan. Aku benar-benar muak akan harapan.
Teringat
pada kejadian setahun lalu, ketika aku terbangun di sebuah jalan. Sinar
matahari pagi menyinari jalan. Sepertinya sudah jam sembilanan. Aku tahu hal
tersebut karena tubuhku mulai merona kepanasan. Seringkali kedapatan merasakan
orang berjalan lalu-lalang, aku merasakannya seperti getaran gempa yang ringan.
Kadang aku memberhentikan langkahnya demi menghilangkan rasa penasaran atas
alas yang mereka gunakan. Pernah sesekali aku mendapatkan hadiah sepasang alas.
Namun rasanya tidak seperti demikian. Sampai ketika ada lelaki muda yang
menjelaskanku alas dari sebuah harapan.
“Dik kamu biasa
dimana?” tanyanya padaku. “Dimana-mana tuan.” Jawabku.
“Kau seperti aku yang
tak pernah kenal jalan. Tahukah kau aku sudah diludahi sepanjang jalan.
Bodohnya aku tidak dapat melawan. Mungkin karena aku sulit memakai alas dan
pakaian, alas yang ku pakai hanyalah sebuah harapan.”
Sambil
mendengarkan cerita harapannya, aku merasakan ada hembusan udara yang tidak
biasa. Aku tahu ini bukan hembusan nafasnya. Tekanannya cukup menyadarkanku.
Meskipun tidak bisa merasakan bau, aku sadar telah menghirup udara kasar. Aku
pernah menghirup asap tak segar ini ketika ada sekelompok orang yang berteriak
kebakaran. Tapi tekanannya terlalu kuat mendorong pernafasan. Jika dibandingkan
dengan ini masih terlalu lembut dan hanya sedikit lebih kasar. Aku bertanya
kepada lelaki muda itu, “Apakah harapanmu
dikelilingi oleh hembusan asap?”. Sambil menyodorkan jarinya ke mulutku dia
berkata, “Hisaplah, kemudian hembuskan
perlahan, seketika harapanmu akan menggelora seperti baja.” Detak jantungku
yang cepat menurun drastis. Irama jantungku perlahan melambat juga. Ketenangan
yang baru pertama kali ku rasakan. Dan pikiranku lega tanpa beban. Dipenuhi
bayangan dan berangan-angan, aku berimajinasi tentang harapan.
“Tolong beri tahu tuan,
inikah sebuah harapan?”
“Ini hanyalah sebatang
alat pemicu harapan, satu-satunya teman yang menemaniku berjalan mengelilingi
pahitnya kehidupan. Hidup gelandangan tanpa pakaian namun penuh harapan di
pinggir jalan.”
“Beri aku sebuah nama,
maka aku akan mengingat dan mencarinya dengan indera peraba yang ku punya,” kataku
penasaran.
Tanpa
mendengar sebuah jawaban dia meninggalkanku sendirian. “Tuan, tuan, tuan!” begitulah sedikit pengalamanku tentang harapan.
Kembali
melumat sebatang jari di mulut aku mulai sadar. Inilah alat pemicu harapan yang
pernah aku hisap. Setahun lamanya aku telah memalingkan wajah. Sebatang, bukan
sebilah! Aku mulai mengenal aroma sebuah harapan!
Aku
mencari tahu kembali meraba dua buah jari yang saling berdempetan. Ku gesekan
besinya dengan jempolku secara perlahan. Sepertinya gesekan ini membuat dia
bergerak. Pelan-pelan seperti ada yang berubah. Dan akhirnya muncul sedikit
percikan yang membuat jariku kepanasan. Aku tau ini bukan kayu bakar. Nampaknya
ini adalah alat untuk membakar. Beberapa kali menggeseknya aku mendapati
kehangatan dan kerinduan akan sebuah harapan. Aku tau apinya bisa menimbulkan
asap jika ku arahkan ke sebuah benda kertas. Kertas yang sedikit kasar masuk ke
tenggorokanku. Mungkin itu bisa membakarnya!
Ku
taruh sebatang jari yang ujungnya tumpul di mulutku. Ku posisikan alat pembakar
segaris lurus dengannya. Kemudian percikan api mulai membakarnya perlahan. Dan
muncullah gumpalan asap di depan hadapanku.
“Hahaha,
akhirnya harapanku datang!”
”Lihatlah tuan aku
sudah menemukan!”
Aku
kaget dan berteriak kegirangan. Sambil membolak balik sebatang jari, mulut dan
jariku mengeluh kesakitan. Tetapi walaupun kesakitan aku tetap saja berteriak
kegirangan. Dentuman jantungku menurun perlahan dan harapanku mulai
berdatangan. Akhirnya aku menemukan posisi yang pas layaknya berteman dengan
sebuah batang. Di pandangi langit dan bintang, aku terus saja berteriak akan
harapan,
“Aku ingin memiliki
kekasih sepertimu tuan.”
“Meskipun tak
berpakaian kau telah mengenalkanku arti sebuah harapan.”
“Lebih dari itu, aku
ingin menjadi seperti dirimu, tuan.”
“Berjalan tanpa arah,
dipenuhi angan-angan.”
Hisapan
demi hisapan masuk ke dalam rongga pernafasan. Aku menikmatinya sebagaimana aku
bisa menikmati kehidupan. Aku bersyukur sekali bisa memiliki indera peraba.
Meskipun tidak menemukan makanan aku telah mengakhiri rasa penasaran. Dengan
segumpal asap tebal yang menemaniku aku makin bersyukur. Kini aku memiliki
teman yang memberikan sebongkah perhiasan. Perhiasan yang membawaku memikirkan
mimpi yang awalnya ku anggap begitu membosankan. Aku sadar betul bahwa mimpi
itu sangat menkjubkan. Dan setelah berteman dengan gumpalan asap, aku tau
kemana harus melangkah. Sambil memikirkan sang Tuan, aku melucuti satu persatu
pakaian yang ku kenakan. Mungkin aku sudah tergila-gila dengannya. Sampai
ketika dimana asap itu berhenti berhembus aku masih memikirkannya. Dan ketika
percikan apinya sudah menghilang aku menyegerakan untuk mencari langkah sang tuan.
No comments:
Post a Comment