Tuesday, December 17, 2013

PSIKOPENA VOLUME 1: AMAYAH


“Ngeng, bip, dor.....”
Aku senang sekali melantunkan ketiga irama tersebut dalam satu kombinasi acak. Terutama ketika aku sedang memegang mainan plastik berjalan seperti ini. Diselimuti oleh piyama biru, aku terus fokus pada segenggam plastik. Kemudian menjalankannya dengan sebelah tangan, dan aku keluarkan irama tersebut dengan pelahan dan bersamaan, dimulai dari ngeng, bip dan dor. Ketiganya merupakan simbol nyata atas realita di Ibu Kota. Percaya atau tidak, menurutku semuanya adalah mainan semata.
Aku berjalan menelusuri lorong panjang. Di sekelilingku terdapat banyak sekali mainan. Namun sudah ada pemiliknya semua. Sesekali aku berhasil mengutili beberapa. Tapi, lama kelamaan aku sadar untuk membuka mata dan hati. Sebenarnya apa yang sedang merengut jiwaku. Hingga tiba di ujung lorong aku menemukan seorang wanita paruh baya berseragam putih. Duduk di bangku sambil menulis.
“Boleh ku pinjam pulpennya mbak?” tanyaku pada wanita berkopiah .
“Tidak, pergi sana, mainlah dengan temanmu.” Jawabnya tegas.
“Tapi mbak, pulpen itu seperti kelaminku.” Balasku cepat.
Tanpa menjawab, dia lekas pergi ke dalam ruangan dan meninggalkan pulpennya. Tanpa banyak kata juga aku langsung mengambilnya dan lari ke dalam ruanganku. Ruangan itu bernomor tiga belas. Entahlah ini ruanganku atau bukan. Yang jelas aku sering bersemayam di sini. Dan kira-kira sudah hampir setahunan aku tinggal.
Sesampainya di ruangan, ku goreskan tinta yang ku genggam. Tembok putih ini seakan ingin berkencan dengan pangeran. Setelah penuh dengan goresan-goresan, tanganku mengepal kuat. Kepalan ini meluncur tepat pada goresan-goresan yang ku buat. Tanganku berkeringat darah dan mulutku menjerit kesakitan.
 “Siapapun tolong aku, sakit banget!”
Sambil menggunjing pertolongan aku masuk ke dalam goresan-goresan. Lebih jelas lagi, aku masuk lebih dalam, tepatnya ada tiga goresan bertuliskan ngeng, bip dan dor.
***
Aku tinggal di pinggiran Ibu Kota yang terletak di bagian timur. Awalnya memang aku tinggal di bagian barat. Namun keluargaku memaksa pindah atas dasar kepentingan keluarga. Aku memiliki seorang kakak yang cukup sukses dan adik setengah baya. Keluarga dengan satu wanita ini rasanya tidak bagus. Ibuku selalu mengidam-idamkan sosok anak perempuan. Sekiranya aku punya kekasih pasti langsung dijamahnya. Aku ingat ketika mantan kekasihku menyuruhku untuk memberitahu ibu supaya jangan menghubunginya lagi. Saat itu juga rasanya ingin ku robek saja bibir manisnya . Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak berhubungan dengan wanita manapun.  
Di balik kecintaanku pada ibu, aku sangat membenci ayahku. Dia hanyalah seorang pemabuk berat. Meskipun semua kebutuhan sudah terpenuhi, tetap saja aku membencinya. Hobinya adalah marah-marah. Mungkin di setiap detik dalam hidupnya penuh dengan amarah dan alkohol. Kedua penanda yang tak bisa lepas dari hidupnya. Dan yang paling aku tidak bisa terima, sifat amarahnya itu menurun ke anak keduanya.
Setiap pagi aku berangkat ke kampus yang letaknya sangat amat jauh. Aku harus melewati kejamnya ibu kota di setiap paginya. Sebut saja asap kendaraan, polusi, sinar matahari, dan kemacetan lalu lintas yang melengkapi tiga tahunku. Sebenarnya aku sudah bosan dengan kemacetan. Setiap kali melewati Simatupang tubuhku tersendat dan melambat. Yang hanya bisa aku lakukan yaitu menoleh kebelakang karena sering kali tertabrak dari belakang.
“Kau punya mata terbalik atau dimana!” Sambil mengaitkan kepalanan.
“Dasar brandal, ikut saya ke kantor!” Menahan kepalanku yang gemetaran.
Sepertinya kesalahan bukan dari tubuhku, melainkan bapak berseragam yang menabrakku dari sisi belakang. Saat itulah mulai timbul perasaan bengisku terhadap manipulasi lalu lintas. Aku kehilangan identitas dalam proses interpelasi di lingkungan lalu lintas. Sering juga aku menaruh saran dan kritik di pos berseragam. Tetapi yang ada hanya membuang tinta dalam pena yang ku punya saja. Kemudian aku memulai hobi baru membunyikan klakson di keramaian. Bunyi tersebut merupakan simbol identitasku. Identitas yang terbentuk dari berbagai macam kesalahan.
Setibanya di rumah, saat aku sedang bersantai selalu saja ada kesalahan. Di musim hujan yang deras ini, rumahku tetap saja panas dipenuhi keringat. Keringat yang muncul akibat proses biologis dan psikologis. Sekalinya aku bosan, aku bisa saja menutup kamar rapat-rapat tanpa mendengarkan, beres kan. Satu-satunya amarah positifku yaitu berdampak pada sublimasi, yaitu celotehan tulisan dan gambar di dinding kamar.
 Rutinitas adalah tetap rutinitas. Rutinitasku sebagai mahasiswa selalu dimulai di pagi hari. Sekali lagi aku ingin bercerita tentang kebodohan lalu lintas. Ketika aku sedang mengantri hitungan di perempatan, selalu saja ada kejadian yang membingungkan. Aku menghitung mundur angka dua ratus. Setelah nol merah selesai ada saja garis merah tambahan. Dan di saat garis itu menghilang ada saja tangan yang menghalangi perjalanan. Sepertinya waktu mudah sekali dipermainkan. Ratusan orang yang kehilangan kesabaran mungkin sudah merasa putus asa. Tapi dengan amarah yang ku punya, aku tidak seperti demikian. Apapun alasannya, bagiku tidak ada pertimbangan untuk keadilan.
“Bip, Bip, Bip, lekaslah jalan pak!” Sambil melongok ke luar jendela. “Apa kau buta ada siapa!” Jawabnya dengan emosi.
“Pak tidakkah anda yang buta,melihat mainan yang sedemikian rupa!” Saking kerasnya suaraku mungkin membuatnya minggir dan membiarkanku menerobos ke depan.
Kemudian langsung ku tancapkan gas di depan barisan setengah jalan. Sambil berlanjut masuk ke dalam barisan, nampaknya aku sedang melihat banyak sekali mainan. Mainan yang pertama ku robohkan dengan sekali gas. Berlanjut ke mainan kedua yang pasrah begitu saja. Dan ketika sampai pada mainan ketiga aku kedapatan tidak seimbang. Meskipun mainan ketiga dapat ku jamah,  mobilku tergelincir dan menabrak tiang listrik! Saking hebat benturannya, muncul ledakan yang diakibatkan oleh bahan bakar yang menggelegar keluar!
Oh tidak! Apa sebenarnya yang terjadi!
Padahal niatku hanya untuk memberikan sedikit pelajaran pada barisan mainan!
 Sejenak aku bercakap sambil membayangkan amarah ayah yang sedang berkobar dalam belenggu api ini.
“Ayah, apakah amarahku salah? Bagaimana dengan amarahmu? Sudah jelaskah amarah yang kita punya berbeda arah? Saat ini amarahku sudah berbuah darah.”
***
Ternyata dinding ini bukan hanya tergores oleh tiga goresan saja, masih ada beberapa goresan bersemayam di sampingnya.  Aku mencoba untuk lebih mencermatinya, garis demi garis. Garis ini terpisah satu sama lain. Sepertinya harus ku hubungkan terlebih dahulu baru dapat ku cerna maknanya. Pelan-pelan aku menggeser tinta. Titik demi titik, garis demi garis. Sepertinya akan memunculkan sebuah alasan. Tentunya, alasan tentang keberadaanku tinggal di tengah-tengah orang setengah waras.
Sambung-menyambung menjadi satu, itulah yang ku temukan. Hasil dari penyatuan tersebut berbuah gambar, bukan tulisan. Sejak kecil aku memang lebih menyukai gambar dibandingkan tulisan. Dan gambar yang pertama sepertinya adalah sebuah mobil.
“Apakah ini mobilku?”
Melanjutkan gambar yang kedua, itu seperti sebuah tiang yang memiliki tiga kepala di atasnya, dan kepala paling atas tercoret buram.
“Lampu lalu lintas, sudah  jelas!”
Gambar yang terakhir menunjukan pemandangan sekelompok orang yang di batasi oleh tiga garis lurus. Sepertinya gambar yang satu ini sangat membingungkan. Ku coba untuk membandingkan dan saling mengaitkan. Pasti rangkaian ini membentuk sebuah alasan. Aku masih belum menyerah mencoba menerka-nerka.
“Apakah sekeruman orang ini adalah teman-teman yang meratapiku dari kejauhan? Tapi tidak mungkin, aku tidak suka mencari kawan! Apakah hanya orang-orang iseng yang iri dengan kemewahan lalu-lintas? Lebih tidak mungkin lagi! Oh tuhan tolong beri aku jawaban. Aku muak tinggal di tempat yang gaduh, aku butuh sebuah kehangatan! Setidaknya meskipun hilang ingatan aku diberitahukan sebuah kebenaran, ah!”
Tubuhku bergemuruh dan lisanku menggelegar atas pembicaraan bodoh yang menelaah sebuah gambar rekayasa. Sambil memukuli gambar dan meneteskan air mata kebencian, aku menjerit sekeras-kerasnya.
“Aku tidak amnesia!”
“Tidak pula menerobos lampu merah!”
“Aku tentu tidak buta warna!”
“Aku juga tidak menabrak sekelompok orang tua!”
“Yang aku tahu, aku cuma membenci amarah ayah!”










No comments:

Post a Comment