“Ngeng, bip, dor.....”
Aku
senang sekali melantunkan ketiga irama tersebut dalam satu kombinasi acak.
Terutama ketika aku sedang memegang mainan plastik berjalan seperti ini.
Diselimuti oleh piyama biru, aku terus fokus pada segenggam plastik. Kemudian
menjalankannya dengan sebelah tangan, dan aku keluarkan irama tersebut dengan
pelahan dan bersamaan, dimulai dari ngeng, bip dan dor. Ketiganya merupakan
simbol nyata atas realita di Ibu Kota. Percaya atau tidak, menurutku semuanya
adalah mainan semata.
Aku
berjalan menelusuri lorong panjang. Di sekelilingku terdapat banyak sekali
mainan. Namun sudah ada pemiliknya semua. Sesekali aku berhasil mengutili
beberapa. Tapi, lama kelamaan aku sadar untuk membuka mata dan hati. Sebenarnya
apa yang sedang merengut jiwaku. Hingga tiba di ujung lorong aku menemukan
seorang wanita paruh baya berseragam putih. Duduk di bangku sambil menulis.
“Boleh ku pinjam
pulpennya mbak?” tanyaku pada wanita berkopiah .
“Tidak, pergi sana,
mainlah dengan temanmu.” Jawabnya tegas.
“Tapi mbak, pulpen itu
seperti kelaminku.” Balasku cepat.
Tanpa
menjawab, dia lekas pergi ke dalam ruangan dan meninggalkan pulpennya. Tanpa
banyak kata juga aku langsung mengambilnya dan lari ke dalam ruanganku. Ruangan
itu bernomor tiga belas. Entahlah ini ruanganku atau bukan. Yang jelas aku
sering bersemayam di sini. Dan kira-kira sudah hampir setahunan aku tinggal.
Sesampainya
di ruangan, ku goreskan tinta yang ku genggam. Tembok putih ini seakan ingin
berkencan dengan pangeran. Setelah penuh dengan goresan-goresan, tanganku
mengepal kuat. Kepalan ini meluncur tepat pada goresan-goresan yang ku buat.
Tanganku berkeringat darah dan mulutku menjerit kesakitan.
“Siapapun tolong aku, sakit banget!”
Sambil
menggunjing pertolongan aku masuk ke dalam goresan-goresan. Lebih jelas lagi,
aku masuk lebih dalam, tepatnya ada tiga goresan bertuliskan ngeng, bip dan
dor.
***
Aku
tinggal di pinggiran Ibu Kota yang terletak di bagian timur. Awalnya memang aku
tinggal di bagian barat. Namun keluargaku memaksa pindah atas dasar kepentingan
keluarga. Aku memiliki seorang kakak yang cukup sukses dan adik setengah baya.
Keluarga dengan satu wanita ini rasanya tidak bagus. Ibuku selalu
mengidam-idamkan sosok anak perempuan. Sekiranya aku punya kekasih pasti
langsung dijamahnya. Aku ingat ketika mantan kekasihku menyuruhku untuk
memberitahu ibu supaya jangan menghubunginya lagi. Saat itu juga rasanya ingin
ku robek saja bibir manisnya . Hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak
berhubungan dengan wanita manapun.
Di
balik kecintaanku pada ibu, aku sangat membenci ayahku. Dia hanyalah seorang
pemabuk berat. Meskipun semua kebutuhan sudah terpenuhi, tetap saja aku
membencinya. Hobinya adalah marah-marah. Mungkin di setiap detik dalam hidupnya
penuh dengan amarah dan alkohol. Kedua penanda yang tak bisa lepas dari
hidupnya. Dan yang paling aku tidak bisa terima, sifat amarahnya itu menurun ke
anak keduanya.
Setiap
pagi aku berangkat ke kampus yang letaknya sangat amat jauh. Aku harus melewati
kejamnya ibu kota di setiap paginya. Sebut saja asap kendaraan, polusi, sinar
matahari, dan kemacetan lalu lintas yang melengkapi tiga tahunku. Sebenarnya
aku sudah bosan dengan kemacetan. Setiap kali melewati Simatupang tubuhku
tersendat dan melambat. Yang hanya bisa aku lakukan yaitu menoleh kebelakang
karena sering kali tertabrak dari belakang.
“Kau punya mata
terbalik atau dimana!” Sambil mengaitkan kepalanan.
“Dasar brandal, ikut
saya ke kantor!” Menahan kepalanku yang gemetaran.
Sepertinya
kesalahan bukan dari tubuhku, melainkan bapak berseragam yang menabrakku dari
sisi belakang. Saat itulah mulai timbul perasaan bengisku terhadap manipulasi
lalu lintas. Aku kehilangan identitas dalam proses interpelasi di lingkungan
lalu lintas. Sering juga aku menaruh saran dan kritik di pos berseragam. Tetapi
yang ada hanya membuang tinta dalam pena yang ku punya saja. Kemudian aku
memulai hobi baru membunyikan klakson di keramaian. Bunyi tersebut merupakan
simbol identitasku. Identitas yang terbentuk dari berbagai macam kesalahan.
Setibanya
di rumah, saat aku sedang bersantai selalu saja ada kesalahan. Di musim hujan
yang deras ini, rumahku tetap saja panas dipenuhi keringat. Keringat yang
muncul akibat proses biologis dan psikologis. Sekalinya aku bosan, aku bisa saja
menutup kamar rapat-rapat tanpa mendengarkan, beres kan. Satu-satunya amarah
positifku yaitu berdampak pada sublimasi, yaitu celotehan tulisan dan gambar di
dinding kamar.
Rutinitas adalah tetap rutinitas. Rutinitasku
sebagai mahasiswa selalu dimulai di pagi hari. Sekali lagi aku ingin bercerita
tentang kebodohan lalu lintas. Ketika aku sedang mengantri hitungan di
perempatan, selalu saja ada kejadian yang membingungkan. Aku menghitung mundur
angka dua ratus. Setelah nol merah selesai ada saja garis merah tambahan. Dan
di saat garis itu menghilang ada saja tangan yang menghalangi perjalanan.
Sepertinya waktu mudah sekali dipermainkan. Ratusan orang yang kehilangan
kesabaran mungkin sudah merasa putus asa. Tapi dengan amarah yang ku punya, aku
tidak seperti demikian. Apapun alasannya, bagiku tidak ada pertimbangan untuk
keadilan.
“Bip, Bip, Bip,
lekaslah jalan pak!” Sambil melongok ke luar jendela. “Apa kau buta ada siapa!” Jawabnya
dengan emosi.
“Pak tidakkah anda yang
buta,melihat mainan yang sedemikian rupa!” Saking kerasnya
suaraku mungkin membuatnya minggir dan membiarkanku menerobos ke depan.
Kemudian
langsung ku tancapkan gas di depan barisan setengah jalan. Sambil berlanjut
masuk ke dalam barisan, nampaknya aku sedang melihat banyak sekali mainan. Mainan
yang pertama ku robohkan dengan sekali gas. Berlanjut ke mainan kedua yang
pasrah begitu saja. Dan ketika sampai pada mainan ketiga aku kedapatan tidak
seimbang. Meskipun mainan ketiga dapat ku jamah, mobilku tergelincir dan menabrak tiang
listrik! Saking hebat benturannya, muncul ledakan yang diakibatkan oleh bahan
bakar yang menggelegar keluar!
Oh
tidak! Apa sebenarnya yang terjadi!
Padahal
niatku hanya untuk memberikan sedikit pelajaran pada barisan mainan!
Sejenak aku bercakap sambil membayangkan
amarah ayah yang sedang berkobar dalam belenggu api ini.
“Ayah, apakah amarahku
salah? Bagaimana dengan amarahmu? Sudah jelaskah amarah yang kita punya berbeda
arah? Saat ini amarahku sudah berbuah darah.”
***
Ternyata
dinding ini bukan hanya tergores oleh tiga goresan saja, masih ada beberapa
goresan bersemayam di sampingnya. Aku
mencoba untuk lebih mencermatinya, garis demi garis. Garis ini terpisah satu
sama lain. Sepertinya harus ku hubungkan terlebih dahulu baru dapat ku cerna
maknanya. Pelan-pelan aku menggeser tinta. Titik demi titik, garis demi garis.
Sepertinya akan memunculkan sebuah alasan. Tentunya, alasan tentang
keberadaanku tinggal di tengah-tengah orang setengah waras.
Sambung-menyambung
menjadi satu, itulah yang ku temukan. Hasil dari penyatuan tersebut berbuah
gambar, bukan tulisan. Sejak kecil aku memang lebih menyukai gambar
dibandingkan tulisan. Dan gambar yang pertama sepertinya adalah sebuah mobil.
“Apakah ini mobilku?”
Melanjutkan
gambar yang kedua, itu seperti sebuah tiang yang memiliki tiga kepala di
atasnya, dan kepala paling atas tercoret buram.
“Lampu lalu lintas,
sudah jelas!”
Gambar
yang terakhir menunjukan pemandangan sekelompok orang yang di batasi oleh tiga
garis lurus. Sepertinya gambar yang satu ini sangat membingungkan. Ku coba
untuk membandingkan dan saling mengaitkan. Pasti rangkaian ini membentuk sebuah
alasan. Aku masih belum menyerah mencoba menerka-nerka.
“Apakah sekeruman orang
ini adalah teman-teman yang meratapiku dari kejauhan? Tapi tidak mungkin, aku tidak
suka mencari kawan! Apakah hanya orang-orang iseng yang iri dengan kemewahan
lalu-lintas? Lebih tidak mungkin lagi! Oh tuhan tolong beri aku jawaban. Aku
muak tinggal di tempat yang gaduh, aku butuh sebuah kehangatan! Setidaknya
meskipun hilang ingatan aku diberitahukan sebuah kebenaran, ah!”
Tubuhku
bergemuruh dan lisanku menggelegar atas pembicaraan bodoh yang menelaah sebuah
gambar rekayasa. Sambil memukuli gambar dan meneteskan air mata kebencian, aku
menjerit sekeras-kerasnya.
“Aku tidak amnesia!”
“Tidak pula menerobos
lampu merah!”
“Aku tentu tidak buta
warna!”
“Aku juga tidak
menabrak sekelompok orang tua!”
“Yang aku tahu, aku
cuma membenci amarah ayah!”
No comments:
Post a Comment