“Sebuah rantai baja!”
Ya,
sebuah rantai tahan api berbentuk lingkaran sudah membelit kedua tanganku entah
sejak kapan.
"Apakah sudah lama
sekali aku duduk lusuh diatas ukiran batu tanpa alas?"
cakapku dalam hati. Aku pikir memang begitu, karena buluku sudah tumbuh lebat
disekujur wajah dan daging yang nampak seperti binatang melata di Afrika. Sakit dan perih tangan ini. Kian lama kian
menguliti lapisan luar hati. Keras sekali ikatannya sampai-sampai kepalaku
mengambang di awan mengikuti arus rantai. Sakit sekali aku merasakan indera
peraba yang terkurung. Tak bisa begerak leluasa seperti sedia kala.
Tempat
ini sungguh kokoh dan bermotif, motif yang kuat akan wujud teknologi, teknologi
yang kerap membawa diriku melayang di atas perabotan dan permukaan. Aku
membayangkan hal-hal negatif yang sekiranya bisa membuatku bertekuk lutut di
permukaan setengah angkasa ini. Kira-kira sudah berapa abad? Apa yang sudah ku
perbuat kali ini? Sudahlah, aku tak ingin mengingatnya lebih dalam lagi, kali
ini yang baru saja kuingat yaitu sebuah warna berwarna gelap, oh hitam! Hitam
buram warnanya!
***
Aku
merasa sangat bersalah dengan dunia fantasi ini. Aku belum bisa melakukan hal
yang terbaik sebagai manusia yang sudah mengotori dunia. Tapi setidaknya aku
sudah mengingatkan seluruh penjuru permukaan atas kebenaran yang terjadi.
Kebenaran yang tidak akan membuat mereka semua tenggelam dalam api neraka.
Walaupun demikian, nenek moyang dan seluruh keluargaku juga sudah lenyap tak
tersisa. Kejahatan murka yang dilakukan mesin pembunuh terhadap keluargaku
membuat jiwaku turun setengah gila. Aku tetap bertahan atas sebongkah ideologi
yang ku punya. Bersama seorang pria setengah baya aku tinggal berdua di
permukaan yang luasnya tidak terkira.
“Oh iya, aku bisa
sampai lupa telah mengurungnya terlalu lama di tengah angkasa!”
***
Pemandangan
di luar sepi, sunyi, dan tak ada jentik-jentik kehidupan, hanya ada bekas
pembakaran. Gemercik api yang ku lihat dari dalam jendela yang letaknya mungkin
20 meter di atas tanah. Besi atau baja yang kusinggahi sepertinya kuat menahan
bara api, namun panasnya api lambat laun makin membara, bergelora mengukus
baja. Kakiku yang beku seketika nyaris terluka karna telanjang menapak baja di
bawahnya neraka, baja kalah panasnya berasa. Rumah siapa yang sedang dilahap si
jago merah di bawah, yang pasti bukan rumahku. Aku kepanasan tanpa keleluasaan.
Mengeluarkan benih-benih mendidih, aku berteriak!
"Ada kebakaran di
bawah sini, tolong!"
***
Pria
itu ku temukan di Pusat Rumah Jiwa Angkasa beberapa saat sebelum semuanya
terlambat. Sebenarnya aku sangat menyesal mengapa hanya satu jiwa yang ku beri
nafas, hatiku perih mengucap asma.
Saat
itu sungguh menyakitkan, hidup tanpa menonjolkan sebatang hidung di sebuah
permukaan. Angin meniupi pakaianku yang lebar dan buram. Hatiku ikut bersih
tersapunya. Membawa satu kepercayaan yang akan ku genggam dalam batin. Padahal
aku berharap bisa berbagi naluri dengan siapapun. Tapi apa daya aku cuma wanita
tanpa busana abad ini. Bahkan hanya beberapa hidung yang dapat menghirum aroma
bungkus wanita yang ada pada diriku. Jubah ini laksana baja dalam tempurung,
Tak ada yang menyamainya menjadi pelindung yang tak kenal burung. Ini adalah
jubah hitam pelindung, pelindung dari segala kesesatan setan. Walaupun dia
sudah pasti mengenaliku sebagai cinderella.
***
Akhirnya
pemandangan buram itu kembali dan melepaskan dua genggam lingkaran baja. Jika
bisa mengingat pasti aku sudah tau dari mana datangnya.
“Apakah aku menderita
penyakit akut insomnia?”
Aku
sudah tidak sabar keluar dari tempat yang panas ini. Aku memang daging tapi tak
bisa matang, batinkulah yang matang akan lahar panas.
Beberapa
menit kemudian,
"Akhirnya aku
bebas!" teriak bebas kemerdekaan.
Dalam
suasana gemuruh panas aku berlarian mengelilingi putaran yang ada di ruangan.
Aku sangat bahagia hidup bebas walau panas sedang mengganas.
Setelah
sekitar 5 menit lari mengelilingi putaran, akupun sujud lemas. Tanganku yang
bebas kini merengut kembali. Berteman dengan seutas tali tambang, dia
menyeretku keluar menaiki komedi langit putar. Sebenarnya aku tidak ingin berteman,
tapi sudahlah sepertinya dia hanya organisme berjubah hitam dalam cerminan
imajinasi.
***
"Aku sudah memberi
tahu semua orang bahwa mereka harus mengucapkannya!" Ucapan yang membawa
mereka pada keselamatan.”
Pedihnya
aku diludahi siapapun yang bersenggol lisan. Aku tak percaya hanya aku sebatang
korek yang disuapi sebuah kepercayaan semacam ini. Dan aku tak pernah
meragukannya sekalipun. Hingga suatu saat gugusan bintang berkunjung ke tata
surya dan mengetuk bumi dengan lisan, maka aku segara menampakkan harga diriku
di depan mata sang surya. Aku berteman dengan cahaya putih yang membungkusku
hidup-hidup dalam sadisnya kematian. Aku menangis iba melihat semua
penderitaan. Api itu tak pernah padam sebelum berteman dengan daging segar.
Namun persis di hadapanku ada sebuah cahaya juga yang membungkus daging.
“Dia adalah
satu-satunya dari milyaran orang yang mendengarkan dan mengikuti butiran
lisanku, lisan yang membungkusnya ke dalam mewahnya kemilau cahaya.”
***
Jubah
ini sedang membawaku mengelilingi permukaan lautan darah.
Ada
yang salah dengan mataku, semua pemandangan kok merah!
“Ini tanah atau darah!”
Aku
bukannya buta warna, hanya terkejut tak ada yang menimpuk batu ke arahku.
Mungkin mereka sedang bersembunyi untuk bersiap mengoyah tubuh tanpa akal. Aku
ingat kasus terakhir dimana aku memutilasi psikiater tua. Dia selalu menggoda
warna otakku. Sudah tau aku tidak gila dan buta warna. Yasudah ku sileti saja
kepalanya untuk membuktikan padanya bahwa warna otakku sama sepertinya. Dari
kejadian pembuktian fakta tersebut aku mengaku sangat berdosa. Entah kenapa
pembunuhan sadis tersebut memberikan sebuah pencerahan atas apa yang ku
lakukan. Ini adalah hasrat pertama kali untuk sadar. Setelah itu aku diasingkan
untuk diselamatkan dari konflik palsu dunia. Dan menetap bersama orang-orang
tidak sejiwa di penjara setengah angkasa. Tapi aku tau, aku peka akan sesuatu!
Sesuatu itu bukanlah hantu ataupun batu!
"Aku ingat!
Sebelum sesuatu menimpa kehidupan, ada jubah yang menyuruhku untuk menyebut
ucapan!"
"Aku tau dia
nyata, bukan bayanganku melainkan jubah tanpa kelamin!"
Dia
menggunjing batinku untuk mengucap kata-kata tak senonoh yang belum pernah ku
dengar di bujur manapun. Dalam setiap maknanyapun pasti cukup kuat untuk
mendefinisikan apapun. Namun tugasku memang hanya untuk melantunkan. Aku yakin
dia bukan orang jahat karna seperangkap baja di tanganku sudah lenyap. Di satu
sisi aku yakin dia adalah teman. Pakaian tak sedap dan sepat untuk dilihat. Tak
paham dengan apa yang dia cemaskan, aku
ikuti saja sedikit lisannya. Mulailah bercengkrama kembali dengan
sepasang lingkaran baja. Lingkaran ini berjalan tidak diam di tempat. Membawaku
ke baja berbentuk lingkaran di pertengahan tanah dan langit kusam. Di luar
sepertinya hujan batu! Suara dentuman bom juga terngiang runcing ke telingaku!
Menusuk gendang menyakitkan!
Untunglah
ini baja, besi sekalipun tak akan mampu singgah untuk melawan keperkasaan sang
baja perak. Lalu tanpa bisik gema dan gaya dia tiba-tiba pergi meninggalkan
tempat kokoh ini.
“Oh aku kembali
terjerat besi sendiri tanpa karat!”
***
“Andai saja aku bisa
meluluhkan siapapun! Lisanku adalah sebuah kalimat hadiah untuk lantunanmu,” aku
berkata layaknya orang gila.
Intinya
siapapun yang dapat aku cengkram lisannya dengan kalimat sang pencipta adalah
temanku kelak. Aku bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendak. Aku juga
bukan orang pertama yang berpijak di atas tanah cokelat. Mungkin bersamanya aku
akan membangun bahtera rumah tangga. Rumah tangga yang kehilangan tetangga dan dipenuhi
rasa iba. Suka atau tidak sebilah nyawa harus dilahirkan. Membawa kelestarian
dari nenek moyangku. Pada akhirnya aku sangat bersyukur bahwa aku bisa melayang
bebas dalam kesucian dunia tanpa bahaya, biaya dan bencana. Dan satu-satunya
hal yang bisa kubanggakan sekarang ya jubahku ini. Penutup makna dari lisan
yang suci.
No comments:
Post a Comment