Tuesday, December 17, 2013

PSIKOPENA VOLUME 1: LISAN JUBAH


“Sebuah rantai baja!”
Ya, sebuah rantai tahan api berbentuk lingkaran sudah membelit kedua tanganku entah sejak kapan.
"Apakah sudah lama sekali aku duduk lusuh diatas ukiran batu tanpa alas?" cakapku dalam hati. Aku pikir memang begitu, karena buluku sudah tumbuh lebat disekujur wajah dan daging yang nampak seperti binatang melata di Afrika.  Sakit dan perih tangan ini. Kian lama kian menguliti lapisan luar hati. Keras sekali ikatannya sampai-sampai kepalaku mengambang di awan mengikuti arus rantai. Sakit sekali aku merasakan indera peraba yang terkurung. Tak bisa begerak leluasa seperti sedia kala.
Tempat ini sungguh kokoh dan bermotif, motif yang kuat akan wujud teknologi, teknologi yang kerap membawa diriku melayang di atas perabotan dan permukaan. Aku membayangkan hal-hal negatif yang sekiranya bisa membuatku bertekuk lutut di permukaan setengah angkasa ini. Kira-kira sudah berapa abad? Apa yang sudah ku perbuat kali ini? Sudahlah, aku tak ingin mengingatnya lebih dalam lagi, kali ini yang baru saja kuingat yaitu sebuah warna berwarna gelap, oh hitam! Hitam buram warnanya!
***
Aku merasa sangat bersalah dengan dunia fantasi ini. Aku belum bisa melakukan hal yang terbaik sebagai manusia yang sudah mengotori dunia. Tapi setidaknya aku sudah mengingatkan seluruh penjuru permukaan atas kebenaran yang terjadi. Kebenaran yang tidak akan membuat mereka semua tenggelam dalam api neraka. Walaupun demikian, nenek moyang dan seluruh keluargaku juga sudah lenyap tak tersisa. Kejahatan murka yang dilakukan mesin pembunuh terhadap keluargaku membuat jiwaku turun setengah gila. Aku tetap bertahan atas sebongkah ideologi yang ku punya. Bersama seorang pria setengah baya aku tinggal berdua di permukaan yang luasnya tidak terkira.
“Oh iya, aku bisa sampai lupa telah mengurungnya terlalu lama di tengah angkasa!”
***
Pemandangan di luar sepi, sunyi, dan tak ada jentik-jentik kehidupan, hanya ada bekas pembakaran. Gemercik api yang ku lihat dari dalam jendela yang letaknya mungkin 20 meter di atas tanah. Besi atau baja yang kusinggahi sepertinya kuat menahan bara api, namun panasnya api lambat laun makin membara, bergelora mengukus baja. Kakiku yang beku seketika nyaris terluka karna telanjang menapak baja di bawahnya neraka, baja kalah panasnya berasa. Rumah siapa yang sedang dilahap si jago merah di bawah, yang pasti bukan rumahku. Aku kepanasan tanpa keleluasaan. Mengeluarkan benih-benih mendidih, aku berteriak!
"Ada kebakaran di bawah sini, tolong!"
***
Pria itu ku temukan di Pusat Rumah Jiwa Angkasa beberapa saat sebelum semuanya terlambat. Sebenarnya aku sangat menyesal mengapa hanya satu jiwa yang ku beri nafas, hatiku perih mengucap asma.
Saat itu sungguh menyakitkan, hidup tanpa menonjolkan sebatang hidung di sebuah permukaan. Angin meniupi pakaianku yang lebar dan buram. Hatiku ikut bersih tersapunya. Membawa satu kepercayaan yang akan ku genggam dalam batin. Padahal aku berharap bisa berbagi naluri dengan siapapun. Tapi apa daya aku cuma wanita tanpa busana abad ini. Bahkan hanya beberapa hidung yang dapat menghirum aroma bungkus wanita yang ada pada diriku. Jubah ini laksana baja dalam tempurung, Tak ada yang menyamainya menjadi pelindung yang tak kenal burung. Ini adalah jubah hitam pelindung, pelindung dari segala kesesatan setan. Walaupun dia sudah pasti mengenaliku sebagai cinderella.
***
Akhirnya pemandangan buram itu kembali dan melepaskan dua genggam lingkaran baja. Jika bisa mengingat pasti aku sudah tau dari mana datangnya.
“Apakah aku menderita penyakit akut insomnia?
Aku sudah tidak sabar keluar dari tempat yang panas ini. Aku memang daging tapi tak bisa matang, batinkulah yang matang akan lahar panas.
Beberapa menit kemudian,
"Akhirnya aku bebas!" teriak bebas kemerdekaan.
Dalam suasana gemuruh panas aku berlarian mengelilingi putaran yang ada di ruangan. Aku sangat bahagia hidup bebas walau panas sedang mengganas.
Setelah sekitar 5 menit lari mengelilingi putaran, akupun sujud lemas. Tanganku yang bebas kini merengut kembali. Berteman dengan seutas tali tambang, dia menyeretku keluar menaiki komedi langit putar. Sebenarnya aku tidak ingin berteman, tapi sudahlah sepertinya dia hanya organisme berjubah hitam dalam cerminan imajinasi.
***
"Aku sudah memberi tahu semua orang bahwa mereka harus mengucapkannya!" Ucapan yang membawa mereka pada keselamatan.”
Pedihnya aku diludahi siapapun yang bersenggol lisan. Aku tak percaya hanya aku sebatang korek yang disuapi sebuah kepercayaan semacam ini. Dan aku tak pernah meragukannya sekalipun. Hingga suatu saat gugusan bintang berkunjung ke tata surya dan mengetuk bumi dengan lisan, maka aku segara menampakkan harga diriku di depan mata sang surya. Aku berteman dengan cahaya putih yang membungkusku hidup-hidup dalam sadisnya kematian. Aku menangis iba melihat semua penderitaan. Api itu tak pernah padam sebelum berteman dengan daging segar. Namun persis di hadapanku ada sebuah cahaya juga yang membungkus daging.
“Dia adalah satu-satunya dari milyaran orang yang mendengarkan dan mengikuti butiran lisanku, lisan yang membungkusnya ke dalam mewahnya kemilau cahaya.”
***
Jubah ini sedang membawaku mengelilingi permukaan lautan darah.
Ada yang salah dengan mataku, semua pemandangan kok merah!
“Ini tanah atau darah!”
Aku bukannya buta warna, hanya terkejut tak ada yang menimpuk batu ke arahku. Mungkin mereka sedang bersembunyi untuk bersiap mengoyah tubuh tanpa akal. Aku ingat kasus terakhir dimana aku memutilasi psikiater tua. Dia selalu menggoda warna otakku. Sudah tau aku tidak gila dan buta warna. Yasudah ku sileti saja kepalanya untuk membuktikan padanya bahwa warna otakku sama sepertinya. Dari kejadian pembuktian fakta tersebut aku mengaku sangat berdosa. Entah kenapa pembunuhan sadis tersebut memberikan sebuah pencerahan atas apa yang ku lakukan. Ini adalah hasrat pertama kali untuk sadar. Setelah itu aku diasingkan untuk diselamatkan dari konflik palsu dunia. Dan menetap bersama orang-orang tidak sejiwa di penjara setengah angkasa. Tapi aku tau, aku peka akan sesuatu! Sesuatu itu bukanlah hantu ataupun batu!
"Aku ingat! Sebelum sesuatu menimpa kehidupan, ada jubah yang menyuruhku untuk menyebut ucapan!"
"Aku tau dia nyata, bukan bayanganku melainkan jubah tanpa kelamin!"
Dia menggunjing batinku untuk mengucap kata-kata tak senonoh yang belum pernah ku dengar di bujur manapun. Dalam setiap maknanyapun pasti cukup kuat untuk mendefinisikan apapun. Namun tugasku memang hanya untuk melantunkan. Aku yakin dia bukan orang jahat karna seperangkap baja di tanganku sudah lenyap. Di satu sisi aku yakin dia adalah teman. Pakaian tak sedap dan sepat untuk dilihat. Tak paham dengan apa yang dia cemaskan, aku  ikuti saja sedikit lisannya. Mulailah bercengkrama kembali dengan sepasang lingkaran baja. Lingkaran ini berjalan tidak diam di tempat. Membawaku ke baja berbentuk lingkaran di pertengahan tanah dan langit kusam. Di luar sepertinya hujan batu! Suara dentuman bom juga terngiang runcing ke telingaku! Menusuk gendang menyakitkan! 
Untunglah ini baja, besi sekalipun tak akan mampu singgah untuk melawan keperkasaan sang baja perak. Lalu tanpa bisik gema dan gaya dia tiba-tiba pergi meninggalkan tempat kokoh ini.
“Oh aku kembali terjerat besi sendiri tanpa karat!”
***
“Andai saja aku bisa meluluhkan siapapun! Lisanku adalah sebuah kalimat hadiah untuk lantunanmu,” aku berkata layaknya orang gila.
Intinya siapapun yang dapat aku cengkram lisannya dengan kalimat sang pencipta adalah temanku kelak. Aku bukan tipe orang yang suka memaksakan kehendak. Aku juga bukan orang pertama yang berpijak di atas tanah cokelat. Mungkin bersamanya aku akan membangun bahtera rumah tangga. Rumah tangga yang kehilangan tetangga dan dipenuhi rasa iba. Suka atau tidak sebilah nyawa harus dilahirkan. Membawa kelestarian dari nenek moyangku. Pada akhirnya aku sangat bersyukur bahwa aku bisa melayang bebas dalam kesucian dunia tanpa bahaya, biaya dan bencana. Dan satu-satunya hal yang bisa kubanggakan sekarang ya jubahku ini. Penutup makna dari lisan yang suci.










No comments:

Post a Comment