Aku
adalah seorang penulis....
Aku
dilahirkan dan ditakdirkan untuk menjadi seorang penulis. Pada dasarnya aku
hanya bisa bekerja untuk menulis. Menulis dan hanya menulis di seluruh waktuku
yang terus membatu. Namun aku menulis bukan sembarang menulis. Aku menulis
sambil melukis tangis. Taukah kau apa yang selama ini ku tulis? Lantas untuk
apa aku melukis tangis?
Tulisanku
mencakup hal-hal baik yang sangat mendetail. Aku ditakdirkan berteman dengan
sepucuk pena untuk mencatat sesuatu secara detail. Di setiap detikku aku selalu
menggenggamnya sebatang kara. Bentuknya yang tak bisa kalian bayangkan
membuatku ingin menyembunyikannya dalam brangkas baja saja. Pena ini begitu
spesial untukku. Tanpanya aku hanya angin yang tertiup bersamaan hembusan debu
dalam kegelapan. Bahkan aku tak pernah mengenal makan. Perutku selalu kenyang
dipenuhi buah penaku sendiri. Menurut kalian apakah aku hanya tinggal sendiri
bersama sebatang pena?
Tentu
tidak, dalam penulisan mengenal istilah bagi sebuah obyek apapun yang ditulis
oleh si penulis.
Obyek
penulisanku ini sungguh fantastis!
Fokus
hanya pada satu obyek dan tidak akan mengganti obyek sampai obyekku benar-benar
terurai. Sebelumnya aku juga sudah bersumpah pada atasanku bahwa aku akan setia
menemani obyekku sampai suatu saat nanti tiba. Suatu saat nanti? Jangan tanya
kepadaku soal waktu, tanyalah pada atasanku.
Aku
sering tertegun memandang keindahan satu-satunya obyek yang ku tulis. Rambutnya
hitam, pendek seleher, lurus terurus dan helaiannya membuat hatiku damai.
Wajahnya yang manis menimbulkan tulisan ini begitu rapi. Tanpa coretan palsu
sedikitpun. Perasaan setiaku padanya sudah tak dapat dipungkiri. Aku jatuh
cinta padanya sejak artikel pertama. Namun sayangnya aku ditakdirkan untuk
tidak peka akan cinta dan kasih sayang.
Tahukah
kau hal lain yang sangat ku suka darinya?
Pekerjaan
kita memiliki makna yang sama. Ketika menulis seolah-olah aku sedang berkaca di
depan cermin. Seolah-olah aku berakting jadi dia. Aku tidak pernah membawa
cermin saat bekerja. Cermin ini bercahaya menggelora dengan tulisan tangannya
yang tak kalah mewah dengan sebongkah panah. Menusuk jantungku ke dalam
tulisannya. Tulisannya adalah sebuah penanda, penanda bahwa dia adalah aku dan
aku adalah dia. Seringkali aku mengutili namaku sendiri di akhir tulisannya.
Meskipun kerap kali hanya mencatat celotehan konyol. Aku tahu dibalik cermin
itu tersimpan sejuta pesona.
Lantas
pesona apa?
Pesona
adalah sesuatu yang sangat indah. Saking indah pesona tulisannya membuatku iri.
Dan hanya bisa menggandrungi satu obyek di sela-sela jemariku. Salah satu
tulisannya berjudul Nyawa Punya Siapa, sebuah
tulisan fantasi yang menelusuri tentang insting kematian. Memang sih obyekku
lebih menawan. Lewat tulisan-tulisan kematiannya dibandingkan dengan wajah
cantiknya. Namun aneh saja gadis secantik itu bisa memikirkan sesuatu yang
melewati batas logika lewat sebatang pena. Meskipun hanya dikenal sebagai
subyek fantasi dalam telaah sastra. Berbagai sumber yang dia gunakan cukup
relevan. Memaksa pembaca berpikir lebih dalam. Sedalam nyawa yang berkelana ke
dalam jurang ketika membacanya.
Membaca
memang sebuah rutinitas nyata dibandingkan dengan menulis. Hingga waktu itu
tiba detik-detik ketika dia meneteskan tinta terakhirnya dan memulai aktivitas
membaca. Akupun kehilangan ratapan sebuah cermin yang asli.
Saat
itu ketika umurnya tidak lagi berkepala dua dan tidak juga berbadan dua serta
lebih suka berkata-kata tanpa pena, kemudian membaca adalah hobinya.
“Apa yang kau tulis
sebenarnya? Aku bukan cermin jadi tak usah ikut menulis”
“Dari dulu aku sudah
menulis, tidak sepertimu, hingga saat ini tiba, aku berhenti.”
Dia
melucutiku dengan sejumlah pertanyaan yang membunuh!
Instingnya
kian kuat akan kehadiranku disampingnya. Buah cermin penasarannya kali ini
hanya ditujukan padaku. Walaupun dia sering bersaksi bisu kepada rekan
seperjuangannya, dia selalu mencoba memberitahu tentang keberadaanku dalam
cermin.
Inilah
mengapa di awal aku bilang melukis tangis!
Wanita
yang ku idam-idamkan kini berbalik bangga akan sosok pencatat yang setia. Di
saat senja tiba, dia selalu membaca kitab acuannya. Terus membaca hingga
kegelapan datang dan menyelimuti bintang-bintang. Sepertinya itu adalah
satu-satunya rutinitas yang membuka sebagian inderanya untuk menelanjangi
sebagian badanku. Sayangnya hal seperti demikian hanya berlangsung sebentar.
Sebelum dia tak bisa lagi berhenti tertawa dan berteriak seperti orang gila.
Aku
paham betul akan niat dan obsesinya untuk membongkar realita. Namun mungkin
saat melakukan aktivitas membaca dia kurang menerka arti sakralnya. Kesakralan
itu sudah diadopsi oleh atasanku sejak aku memulai karir untuk menulismu,
gadisku. Faktanya sekarang kau lebih sering mendendangkan syair kematian. Dalam
keramaian lalu tintas, sambil menadahkan kedua tangan aku melukis tangismu
tempo itu:
“Hai kalian, hidup di
tangan kanan, mencatat kebatilan, aroma kemenyan, tanda keabadian, proyeksi masa
depan, tahukah kalian, cermin kelalaian!”
Meskipun
polisi lalu lintas kerap menggapainya, tak sepatah katapun bisa dihindari di
pemberhentian lampu jalan:
“Tuhan, kalian adalah
tuhan, kalian itu tuhan, memang benar kalian tuhan, jangan kau ragukan cermin
tuhan!”
Tak lama, sebuah
ambulan datang menjemput dan membawanya dengan tangan tersilang baja. Jeritan
demi jeritan tentang tangan kanan tak henti-hentinya diletuskan. Aku sangat
merindukan sebuah cermin yang membelah lautan. Hatiku bergetar melukiskan kesedihan
dan keterbelakangan. Ia sedang menghadapi kenyataan di atas kerasnya matras
penjara. Mungkin tetesan tinta terakhirnya bisa ku pahami pesonanya. Sebelum
datang sebuah keterbelakangan dalam
logikanya, aku membaca beberapa pucuk tulisan jenaka.
“Di kamar yang redup ini, aku bersaksi bahwa
aku hanya mengadopsi dua tangan untuk menulis dan terus saja menulis. Aku
memang dilahirkan dan ditakdirkan untuk menjadi seorang penulis yang fokus pada
satu obyek. Aku hanya bisa mempekerjakan tanganku untuk menulis. Menulis dan
hanya menulis di seluruh waktuku yang terus membatu. Namun aku menulis bukan
sembarang menulis. Aku menulis sambil melukis tangis.”
“Taukah kau apa yang
selama ini ku tulis?
Lantas untuk apa aku
melukis tangis?”
Bersamaan
dengan pena yang ku genggam, aku langsung disadarkan oleh dimensi waktu. Dan
waktu ini sepertinya sudah terikat menjadi jalinan peristiwa kuat yang mungkin
pernah ku alami. Mungkinkah dia bisa mencontek catatan sakralku? Apakah
tulisanku mudah untuk ditiru?
Sambil
menulis, tanganku bergetar melihat seorang gadis yang terbujur kaku....
Sambil
menahan isak tangis, ingin rasanya aku menatap ke sekujur tubuh yang kian
membeku....
Sambil
membaca tetesan tinta terakhirnya, aku meratapi kesamaan pena yang kita
punya....
“Pekerjaan kita memiliki makna yang
sama. Ketika menulis seolah-olah aku sedang berkaca di depan cermin,
seolah-olah aku berakting jadi dia.”
“Tulisannya adalah sebuah penanda,
penanda bahwa dia adalah aku dan aku adalah dia. Aku tahu dibalik cermin
itu tersimpan sejuta pesona.”
“Saking indah pesona tulisannya
membuatku iri dan hanya bisa menggandrungi satu obyek di sela-sela jemariku.”
No comments:
Post a Comment