Tuesday, December 17, 2013

PSIKOPENA VOLUME 1: CERMIN PENULIS


Aku adalah seorang penulis....
Aku dilahirkan dan ditakdirkan untuk menjadi seorang penulis. Pada dasarnya aku hanya bisa bekerja untuk menulis. Menulis dan hanya menulis di seluruh waktuku yang terus membatu. Namun aku menulis bukan sembarang menulis. Aku menulis sambil melukis tangis. Taukah kau apa yang selama ini ku tulis? Lantas untuk apa aku melukis tangis?
Tulisanku mencakup hal-hal baik yang sangat mendetail. Aku ditakdirkan berteman dengan sepucuk pena untuk mencatat sesuatu secara detail. Di setiap detikku aku selalu menggenggamnya sebatang kara. Bentuknya yang tak bisa kalian bayangkan membuatku ingin menyembunyikannya dalam brangkas baja saja. Pena ini begitu spesial untukku. Tanpanya aku hanya angin yang tertiup bersamaan hembusan debu dalam kegelapan. Bahkan aku tak pernah mengenal makan. Perutku selalu kenyang dipenuhi buah penaku sendiri. Menurut kalian apakah aku hanya tinggal sendiri bersama sebatang pena?
Tentu tidak, dalam penulisan mengenal istilah bagi sebuah obyek apapun yang ditulis oleh si penulis.
Obyek penulisanku ini sungguh fantastis!
Fokus hanya pada satu obyek dan tidak akan mengganti obyek sampai obyekku benar-benar terurai. Sebelumnya aku juga sudah bersumpah pada atasanku bahwa aku akan setia menemani obyekku sampai suatu saat nanti tiba. Suatu saat nanti? Jangan tanya kepadaku soal waktu, tanyalah pada atasanku.
Aku sering tertegun memandang keindahan satu-satunya obyek yang ku tulis. Rambutnya hitam, pendek seleher, lurus terurus dan helaiannya membuat hatiku damai. Wajahnya yang manis menimbulkan tulisan ini begitu rapi. Tanpa coretan palsu sedikitpun. Perasaan setiaku padanya sudah tak dapat dipungkiri. Aku jatuh cinta padanya sejak artikel pertama. Namun sayangnya aku ditakdirkan untuk tidak peka akan cinta dan kasih sayang.
Tahukah kau hal lain yang sangat ku suka darinya?
Pekerjaan kita memiliki makna yang sama. Ketika menulis seolah-olah aku sedang berkaca di depan cermin. Seolah-olah aku berakting jadi dia. Aku tidak pernah membawa cermin saat bekerja. Cermin ini bercahaya menggelora dengan tulisan tangannya yang tak kalah mewah dengan sebongkah panah. Menusuk jantungku ke dalam tulisannya. Tulisannya adalah sebuah penanda, penanda bahwa dia adalah aku dan aku adalah dia. Seringkali aku mengutili namaku sendiri di akhir tulisannya. Meskipun kerap kali hanya mencatat celotehan konyol. Aku tahu dibalik cermin itu tersimpan sejuta pesona.
Lantas pesona apa?
Pesona adalah sesuatu yang sangat indah. Saking indah pesona tulisannya membuatku iri. Dan hanya bisa menggandrungi satu obyek di sela-sela jemariku. Salah satu tulisannya berjudul Nyawa Punya Siapa, sebuah tulisan fantasi yang menelusuri tentang insting kematian. Memang sih obyekku lebih menawan. Lewat tulisan-tulisan kematiannya dibandingkan dengan wajah cantiknya. Namun aneh saja gadis secantik itu bisa memikirkan sesuatu yang melewati batas logika lewat sebatang pena. Meskipun hanya dikenal sebagai subyek fantasi dalam telaah sastra. Berbagai sumber yang dia gunakan cukup relevan. Memaksa pembaca berpikir lebih dalam. Sedalam nyawa yang berkelana ke dalam jurang ketika membacanya.
Membaca memang sebuah rutinitas nyata dibandingkan dengan menulis. Hingga waktu itu tiba detik-detik ketika dia meneteskan tinta terakhirnya dan memulai aktivitas membaca. Akupun kehilangan ratapan sebuah cermin yang asli.
Saat itu ketika umurnya tidak lagi berkepala dua dan tidak juga berbadan dua serta lebih suka berkata-kata tanpa pena, kemudian membaca adalah hobinya.
“Apa yang kau tulis sebenarnya? Aku bukan cermin jadi tak usah ikut menulis”   
“Dari dulu aku sudah menulis, tidak sepertimu, hingga saat ini tiba, aku berhenti.”
Dia melucutiku dengan sejumlah pertanyaan yang membunuh!
Instingnya kian kuat akan kehadiranku disampingnya. Buah cermin penasarannya kali ini hanya ditujukan padaku. Walaupun dia sering bersaksi bisu kepada rekan seperjuangannya, dia selalu mencoba memberitahu tentang keberadaanku dalam cermin.
Inilah mengapa di awal aku bilang melukis tangis!
Wanita yang ku idam-idamkan kini berbalik bangga akan sosok pencatat yang setia. Di saat senja tiba, dia selalu membaca kitab acuannya. Terus membaca hingga kegelapan datang dan menyelimuti bintang-bintang. Sepertinya itu adalah satu-satunya rutinitas yang membuka sebagian inderanya untuk menelanjangi sebagian badanku. Sayangnya hal seperti demikian hanya berlangsung sebentar. Sebelum dia tak bisa lagi berhenti tertawa dan berteriak seperti orang gila.
Aku paham betul akan niat dan obsesinya untuk membongkar realita. Namun mungkin saat melakukan aktivitas membaca dia kurang menerka arti sakralnya. Kesakralan itu sudah diadopsi oleh atasanku sejak aku memulai karir untuk menulismu, gadisku. Faktanya sekarang kau lebih sering mendendangkan syair kematian. Dalam keramaian lalu tintas, sambil menadahkan kedua tangan aku melukis tangismu tempo itu:
“Hai kalian, hidup di tangan kanan, mencatat kebatilan, aroma kemenyan, tanda keabadian, proyeksi masa depan, tahukah kalian, cermin kelalaian!”
Meskipun polisi lalu lintas kerap menggapainya, tak sepatah katapun bisa dihindari di pemberhentian lampu jalan:
“Tuhan, kalian adalah tuhan, kalian itu tuhan, memang benar kalian tuhan, jangan kau ragukan cermin tuhan!”
 Tak lama, sebuah ambulan datang menjemput dan membawanya dengan tangan tersilang baja. Jeritan demi jeritan tentang tangan kanan tak henti-hentinya diletuskan. Aku sangat merindukan sebuah cermin yang membelah lautan. Hatiku bergetar melukiskan kesedihan dan keterbelakangan. Ia sedang menghadapi kenyataan di atas kerasnya matras penjara. Mungkin tetesan tinta terakhirnya bisa ku pahami pesonanya. Sebelum datang sebuah  keterbelakangan dalam logikanya, aku membaca beberapa pucuk tulisan jenaka.
 “Di kamar yang redup ini, aku bersaksi bahwa aku hanya mengadopsi dua tangan untuk menulis dan terus saja menulis. Aku memang dilahirkan dan ditakdirkan untuk menjadi seorang penulis yang fokus pada satu obyek. Aku hanya bisa mempekerjakan tanganku untuk menulis. Menulis dan hanya menulis di seluruh waktuku yang terus membatu. Namun aku menulis bukan sembarang menulis. Aku menulis sambil melukis tangis.”
“Taukah kau apa yang selama ini ku tulis?
Lantas untuk apa aku melukis tangis?”
Bersamaan dengan pena yang ku genggam, aku langsung disadarkan oleh dimensi waktu. Dan waktu ini sepertinya sudah terikat menjadi jalinan peristiwa kuat yang mungkin pernah ku alami. Mungkinkah dia bisa mencontek catatan sakralku? Apakah tulisanku mudah untuk ditiru?
Sambil menulis, tanganku bergetar melihat seorang gadis yang terbujur kaku....
Sambil menahan isak tangis, ingin rasanya aku menatap ke sekujur tubuh yang kian membeku....
Sambil membaca tetesan tinta terakhirnya, aku meratapi kesamaan pena yang kita punya....
“Pekerjaan kita memiliki makna yang sama. Ketika menulis seolah-olah aku sedang berkaca di depan cermin, seolah-olah aku berakting jadi dia.”
“Tulisannya adalah sebuah penanda, penanda bahwa dia adalah aku dan aku adalah dia. Aku tahu dibalik cermin itu  tersimpan sejuta pesona.”
“Saking indah pesona tulisannya membuatku iri dan hanya bisa menggandrungi satu obyek di sela-sela jemariku.”

No comments:

Post a Comment