Tuesday, December 17, 2013

PSIKOPENA VOLUME 1: PENGHUJUNG JALAN


 Apakah benar aku sudah gila?
Benarkah kali ini aku memang gila?
Kekosongan! Itulah yang kurasakan! Mataku seolah menahan emosi dengan hati dipenuhi api dan ribuan penyesalan. Anehnya tidak sedikitpun suara terdengar dari dalam hati. Kepala seperti kapas putih ringan tanpa beban. Mulut tertutup rapat seperti terjahit kawat duri. Tubuh ini berdiri tegak layaknya seorang prajurit Nazi yang siap tempur.
Aku sedang menjadi segumpal daging yang bingung bukan kepalang tertahan oleh sebuah gejolak luar biasa. Gejolak yang besar untuk menemukan sesuatu. Sepertinya hanya otakku yang bekerja tanpa upah mengingat alunan peristiwa. Jutaan-selnya masih bekerja dengan baik menguatkan memori demi memori. Semakin lama mencoba mengingat, semakin banyak yang tergambar bisu di pikiranku. Sebut saja sekumpulan kata-kata menjijikan abad ini masih melekat jelas di kepalaku. Tetapi, apakah aku adalah orang yang suka melantunkan sapaan jajanan seperti itu.
Kemudian ingatanku menuju pada suatu pola dimana aku menghabiskan waktu seperti bunga yang bersemi sepanjang tahun. Di sebuah rumah sederhana yang saling berdempetan dengan rumah lainnya di sepanjang jalan itu. Meskipun demikian, banyak pepohonan rimbun yang tumbuh mengelilingi jalan. Layaknya hutan belantara di sebuah jalan. Mungkin jalan itu hanya muat dilewati oleh satu mesin beroda empat. Ujungnya juga tak tau mengarah ke jurang mana. Yang jelas di sepanjang jalan itu angin selalu bertiup sepoi-sepoi di sore hari. Rembulan dan bintang-bintang berbaris layaknya soneta Shakespeare di malam hari. Dan di siang hari terik matahari membakar rindangnya dedaunan. Satu hal lagi yang tak terlewatkan, di pinggirnya terdapat rerumputan dan tanah merah yang merona ketika hujan turun. Hal tersebutlah yang menusuk rapih memoriku pada penghuni di depannya. Tapi ketika memaksa untuk mengingat siapa namanya, oh aku tidak bisa!
Otakku sekejap lenyap dimakan memori!
Saat itu aku sedang bersamanya duduk di sebuah sofa yang indah. Bermotif cokelat kekuningan dengan rajutan kehangatan di sekitarnya. Aku yakin dia sosok yang sangat amat  kucintai karena endusanku atas sofa mungil yang hangat itu. Di luar rumahnya udara sangat dingin. Lengkap dengan panorama bintang kecil dan dawaian binatang kecil. Ternyata jam sudah menunjukan pukul sembilan malam. Entah apa yang sedang kita diskusikan, tiba-tiba saja dia mengusap kedua mataku dengan telapak kosongnya yang lembut itu.
Selembut perasaannya kepadaku,  dia mengusapnya penuh cinta. Akupun semakin bersyukur bisa mencintainya dengan segenap baja yang hidup kokoh di hati kecilku. Sepuluh kali usapan perlahannya memberikan pandangan baru.
Tetapi mengapa harus sepuluh usapan?
Pandangan sekejap ringan tanpa beban, udara di sekelilingku mendadak bernada minor. Seperti ada suara banyolan binatang. Aku sadar dan mengira bahwa banyaknya hewan mainan tak jelas di sepanjang jalan ini terlalu senonoh. Walaupun mata ringan namun kuping pengang tidak karuan. Ada sesuatu yang baru hadir. “Ah paling cuma perasaan!” aku berkata sambil memegang tangan kekasihku yang licin. “Aku sudah bilang lebih baik jangan dilakukan sayang!” Seru kekasihku. Sebenarnya dia sangat ketakutan tapi dia menguatkan sambil memelukku erat-erat layaknya sebuah senjata di dadanya. Hari semakin malam, aku segera menyegerakan diri untuk pulang ke rumah. Rumahku tidak jauh dari sini jaraknya cuma sepertiga cintaku padanya. Layaknya perjalan ke Roma menuju cinta.
Sudah semalam ini di sepanjang perjalanan pulang masih saja banyak kemaluan penduduk Ibu Kota. Wajar saja Ibu Kota yang dipenuhi dengan konsumerisme kemaluan jalanan bukan pendidikan. Banyak pilihan jajanan malam pinggir batas jalan yang tersedia di setiap sudut remang-remang. Kebetulan juga aku melewati tiga batasan daerah dalam kota yang menakjubkan. Tetapi bukan itu yang menyorot pikiranku secara berkepanjangan. Ada sesuatu yang terus mengikutiku dari awal perjalanan pulang. Sepertinya sosok diriku telah terbelah menjadi dua bentuk dan lebih besar. Kerap kali aku melihat kebelakang sosok itu sirna. Menghilang secepat kilat dari tempat duduk lega di belakang. Oh tuhan apakah aku merindukan jajanan atau efek dari Dunhill yang sedang ku bakar.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar dengan tubuh terkujur lelah tanpa arah. Pikiran kosong membuatku melamun sebentar sesaat sebelum memejamkan mata. Mata yang bungkam atas bualan kekasih tentang wajah mengerikan itu memberikan sejumlah peryataan logis tentang kejadian saat pulang. Tak logisnya sekarang sosok itu berubah menjadi harimau bertubuhkan manusia dengan cakar pisau, Wolverin! Mataku sepat melihat Wolverin, aku lari ketakutan menjauhinya sampai pada penampakan sebuah lubang sumur lega. Bukan sekedar lubang sumur, di atasnya ada tiang hitam menjulang tinggi pantas untuk menggantung. Lebih tepatnya tiang gantung yang di gunakan untuk mencekik nyawa tanpa mata. Tapi kenapa ada lubang air kuno dibawahnya?! Dan yang lebih tidak masuk akal lagi, ada kekasihku melambaikan tangan dari kejauhan. Jauh sekali dan semakin jauh tubuhnya tidak tampak. “Apakah harimau itu sudah menggoresnya? Mencongkel satu matanya? Mata siapa yang ada di genggamanku?!.” Sambil berteriak keras aku jatuh longsor dari atas tempat tidur.
Badanku lemas sekali dipenuhi angan-angan dan lamunan yang siap untuk membunuhku. Kamarku menjadi sangat panas, padahal aku tidak pernah lupa menekan tombol on setiap masuknya. Yang biasanya maksimal 16 derajat menciut begitu saja membasahi tubuh yang sudah biasa membeku. Yang biasanya terpampang The Beatles kali ini aku menemukan beberapa sahabat baru yang cukup memenuhi asmara di kamar. Sosok yang benar-benar baru dalam hidup dan tak pernah ku temukan sebelumnya, “Ah! aku terlalu larut dalam lamunan?!. 
Sahabat, begitu aku memanggilnya meskipun tidak bisa berbicara langsung padanya. Setidaknya aku bukan orang yang sedang sakit jiwa. Kebetulan aku adalah seorang mahasiswa sastra yang sedang meneliti masalah kejiwaan. Jika aku bisa gila karna lamunan semalam, kepribadianku sudah sulit dideskripsikan. Seakan terguncang gunung emosi yang berbau magma membakar ego yang sudah tidak ideal. Dan mungkin bisa dibilang superegoku jauh melampaui batas id. Di mana popularitas hidup menjadi orang melek dalam sangkar. Terlintas di benakku wajah Freud dengan taringnya. Selayak harimau yang siap menghisap darah mangsanya. Lengkap dengan cakar pisau yang sengaja dibuat untuk mencongkel mata para pendosa.
Hidup menjadi suram dengan penglihatan buram, buram akan nafsu dunia yang biasa menemani kemanapun aku pergi jajan!.” 
Sekarang aku sedang menambahi taring di buku teori kepribadian Sigmund Freud karangan Ferdinand Zaviera milikku yang terpampang jelas wajah Freud. Aku mencoba mengubahnya dengan muncratan tinta menjadi sosok harimau. Padahal di sebelah buku itu ada cerpen horor The Black Cat karya Edgar Allan Poe. Sungguh janggal mengapa harus buku teori yang aku obrak-abrik. Padahal ada cerpen urakan di sebelahnya. Sahabat karibku spontan berkata, “untungnya hanya nampak wajah sebahu, jika ada lengannya habis sudah buku ini kau lucuti seperti jajanan.” Persis saat itulah ibu berjubah dengan kacamata dan lelaki sembrono paruh baya membunuhku dengan peluru tanpa pistol dan cemohan asal-asalan. Aku tau si sembrono yang kritis itu adalah sahabat karibku. Namun hal tersebut tidak mengurangi belas kasihanku sedikitpun. Aku ingin secepatnya mencekik omong kosongnya di depan kemaluan wanita berjubah yang sering tertawa karna lucunya dunia. Bagiku dunia tidak lucu. Bahkan kelucuan itu baru muncul ketika melihat jubahnya tertiup angin dan merosot ke dalam lubang gantungan setan! Sepanjang waktu, hari demi hari, inilah yang terjadi. Terus menerus membanjiri kodratku, ah!
Sudah seminggu lamanya sahabatku melucuti dan menelanjangi pikiranku. Sudah seminggu juga tak dapat kabar dari gadisku, gadis yang ingin ku congkel matanya hingga mengeluarkan darah dan daging sisa. Serentak tubuhku refleks bersiap untuk pergi ke sebuah jalan di perkampungan. Perkampungan yang damai, sunyi, banyak dedaunan, dan terkenal kemerahan datarannya. Warna kemerahanlah yang telah membuat terkenalnya jalan itu.
Tidak lama kemudian nampak lagi tiga perbatasan yang suram akan pendidikan. Dan dengan beraninya aku sodorkan kata-kata menjijikan abad ini lewat jendela terbuka. Air murka dari mulutku ikut terbang ke arahnya. Menjadi sebuah lawakan khusus untuk sahabatku. Sahabat yang setia mengikutiku sambil melotot. Mulutnya kian berbusa menusuk alam bawah sadar tempat aku bersujud dan meminta doa. Aku bukan tipe orang yang suka memakai narkoba. Merokok saja pun kadang aku masih minta si sembrono. Lantas mengapa harus aku yang terbawa hitamnya dunia?!
Sesampainya di tanah berwarna merah kuparkirkan kendaraan lusuhku tepat di atasnya. Hujan deras turun mengantarkanku untuk melangkah ke sebuah rumah yang harumnya gemulai. Tempat singgah bidadari bukan jenaka. Dadaku bergetar bagaikan sebilah pisau yang tertanam di saku. Masuk menembus organ pernafasan. Tanpa harus mendobrak pintu lagi  penunggunya sudah siap menyambutku dengan tatapan dan senyum ambulan. Biasanya aku membalasnya dengan rayuan jajanan. Kali ini aku sudah terbelenggu oleh debu kotor pantulan. Padahal hari ini sudah kubulatkan untuk mencongkel mata sang bukan jenaka. Tetapi, keceriaan ambulan senantiasa selalu menghantuinya selama berdenyutan denganku.
Terus menghantui meskipun dia telah membawaku ke dalam perangkap menjijikan ini, “Apakah kau tak sadar dengan semua lautan omong kosong ini?!,” bentakku lantan padanya dengan buta. Kemudian aku masih saja meneriakkan cacian dan makian penuh dosa, “Usapanmu itu! Usapan yang membawaku ke neraka!.” Sekejap gadis cantik itu langsung menangis tanpa bisa beracun dan masuk ke kamar dimana dia bersembunyi dengan para sahabatnya.
Wanita yang sudah hampir empat tahun ngekost di sela-sela jemariku kini jeritannya sangat kuat mengiris perih telinga dan masuk ke lorong hati sang pujangga. Aku sakit terpojok sebagai seorang pria yang menjunjung tinggi Patriarki, dan atas kemaluanku sendiri. Walaupun insting kehidupan tidak bisa melampaui perasaan cinta yang tulus seperti bengkuang. Wanita menawan itu mungkin sudah benar-benar tidak ingin melihat apalagi berbicara dengan pangeran berjubahnya sendiri.
Dosa besar atas cinta dan persahabatan, omong kosong aku telah menamai kejadian ini!” teriakkan yang hebat diselimuti lebatnya hujan. Namun di satu sisi, dari situ aku tau bahwa aku bukanlah orang gila karna aku masih bisa merasakan gejolak cinta padanya.
Tak tau kenapa mata tajam yang ada di kantongku tiba-tiba menyayat pangkal jari manisku. Ia berbicara dengan parutan matanya yang menyusut semakin tajam! “Tidak sahabatku jangan melihat! Satu jariku telah terlepas.” Disambut dengan darah yang mengucur deras tanpa mengenal rintik, namun tidak juga sederas sungai adopsi Musa. Aku tidak henti-hentinya memanggil sahabatku!
Oh tidak apakah aku akan mati di sini! Di atas tanah lembek, benyek, cerah nan merah!” Sambil menghentakkan si mata tajam aku seakan bersujud kepada sang pencipta, sujud lamunan bukan memohon ampunan, melainkan hujatan dan cacian ketidaknyamanan sesosok makhluk hidup!
Mungkin sahabatku akan senang jika ini menjadi buah tangan terakhir untuk gadisku, “Dialah yang mengenalkanku padamu” ocehku dalam pertikaian hujan dan persahabatan.
Kebetulan  hujan semakin deras aku langsung menguburnya di tanah bercorak darah di depan kediaman itu, “Itulah ku bilang tanah yang mengucurkan darah saat hujan!.”
Derasnya hujan dengan gemuruh petir membawa aku berjalan menelusuri ujung tanah. Dengan manisnya darah sahabat ku sepertinya ingin tahu apakah ujung jalan ini bisa mengobati keperihan ujung jariku.
“Sahabat, aku bertaruh separuh jiwaku!
Empat tahun sudah aku menginjakkan kaki, tak ada apapun disana.
Ia semakin kuat mengajakku pergi ke ujung jalan. Seperti sosok ibu yang sering mengajak anaknya bertamasya keliling kota. Aku terus berjalan dan berjalan dengan kuyubnya hujan demi mencari semenanjung jalan hutan. Bisa saja jalan ini buntu atau mengarah pada sebuah jurang.
Jurang apakah bersedia tinggal di muka yang datar?.”
Dengan santainya aku berjalan sambil meratapi perasaan sekumpulan binatang kecil yang lemah dan tak berdaya. Tersapu hujan dan tak bisa memoroskan badan dalam kehangatan, “mengapa sekumpulan binatang!,” aku terus saja membanjiri lautan jalan dengan perkataan tak sedap. “Setengah nyawa yang kugenggam,” aku mengingat kembali suara binatang yang menghantuiku minggu lalu.
Mereka hidup di pikiranku!.
Sekarang sudah tumbuh leluasa menguasai alam bawah sadar, “tempatku memanipulasi batin, Tuhan, hanya jantung yang ku punya untuk menggerakan tubuh ini, selebihnya binatang itu!.”   
Hingga selanjutnya ternyata aku sudah berakhir di penghujung jalan. Jalan tempat berakhirnya ajakan sahabatku itu. Obsesi jalanan sahabatku yang liar itu. Tanpa adanya jajanan apa-apa selain daging yang berdiri kaku dan tegak layaknya pembeli palsu yang memegang saku. Selayaknya ruangan di tempat ini memang betul remang-remang namun terlalu redup cahayanya. Tidak ada aroma jajanan yang melekat sama sekali, bahkan semacam bau udara juga tak ada. Dan aku juga tak menemukan daratan yang datar sekalipun. Aku juga tak menemukan jari manisku yang telah terkubur merahnya tanah!
Aku berdiri tinggi tanpa alas dan pembatas. Tanpa awan dan rembulan. Oh Tuhan sangat menakjubkan! Jadi inilah akhir dari ujung jalan itu. Akhir yang sangat ku tunggu-tunggu yang membuat sahabat jajananku yang setia itu penasaran. Sahabat yang sekarang sudah meninggalkanku di ruangan lega tanpa duka. Sahabat yang membawaku kepada cerobohnya malapetaka! Sahabat yang bungkam akan peristiwa! Sahabat yang belum terkuak! Sahabat malam yang dikenalkan oleh kekasihku!
Saat ini, di tempat ini aku sudah tidak bisa merasakan lembutnya cinta lagi. Yang dapat kurasakan hanyalah sejempol pikiran yang sedikit membantu mengingatkan perbuatan-perbuatan jalanan. Saat ini aku hanya tinggal sendiri di penghujung jalan namun sepertinya bukan jalan dan bersama mulut yang tertancap duri.
Bagiku ini adalah kehidupan yang sesungguhnya. Tempat dimana hati tidak bisa bicara. Tidak akan ada lagi yang namanya cinta. Setidaknya aku bersyukur sudah tidak bertemu lagi dengan sahabat jajanan yang seperti itu. Saat ini aku sudah lega dan sangat yakin bahwa aku sudah gila.

No comments:

Post a Comment