“Apakah benar aku sudah gila?”
“Benarkah kali
ini aku memang gila?”
Kekosongan! Itulah yang kurasakan! Mataku seolah
menahan emosi dengan hati dipenuhi api dan ribuan penyesalan. Anehnya tidak
sedikitpun suara terdengar dari dalam hati. Kepala seperti kapas putih ringan
tanpa beban. Mulut tertutup rapat seperti terjahit kawat duri. Tubuh ini
berdiri tegak layaknya seorang prajurit Nazi
yang siap tempur.
Aku sedang menjadi segumpal daging yang bingung
bukan kepalang tertahan oleh sebuah gejolak luar biasa. Gejolak yang besar
untuk menemukan sesuatu. Sepertinya hanya otakku yang bekerja tanpa upah
mengingat alunan peristiwa. Jutaan-selnya masih bekerja dengan baik menguatkan
memori demi memori. Semakin lama mencoba mengingat, semakin banyak yang
tergambar bisu di pikiranku. Sebut saja sekumpulan kata-kata menjijikan abad ini
masih melekat jelas di kepalaku. Tetapi, apakah aku adalah orang yang suka
melantunkan sapaan jajanan seperti itu.
Kemudian ingatanku menuju pada suatu pola dimana aku
menghabiskan waktu seperti bunga yang bersemi sepanjang tahun. Di sebuah rumah
sederhana yang saling berdempetan dengan rumah lainnya di sepanjang jalan itu.
Meskipun demikian, banyak pepohonan rimbun yang tumbuh mengelilingi jalan.
Layaknya hutan belantara di sebuah jalan. Mungkin jalan itu hanya muat dilewati
oleh satu mesin beroda empat. Ujungnya juga tak tau mengarah ke jurang mana.
Yang jelas di sepanjang jalan itu angin selalu bertiup sepoi-sepoi di sore
hari. Rembulan dan bintang-bintang berbaris layaknya soneta Shakespeare di malam hari. Dan di siang
hari terik matahari membakar rindangnya dedaunan. Satu hal lagi yang tak
terlewatkan, di pinggirnya terdapat rerumputan dan tanah merah yang merona
ketika hujan turun. Hal tersebutlah yang menusuk rapih memoriku pada penghuni
di depannya. Tapi ketika memaksa untuk mengingat siapa namanya, oh aku tidak
bisa!
Otakku sekejap lenyap dimakan memori!
Saat itu aku sedang bersamanya duduk di sebuah sofa
yang indah. Bermotif cokelat kekuningan dengan rajutan kehangatan di
sekitarnya. Aku yakin dia sosok yang sangat amat kucintai karena endusanku atas sofa mungil
yang hangat itu. Di luar rumahnya udara sangat dingin. Lengkap dengan panorama
bintang kecil dan dawaian binatang kecil. Ternyata jam sudah menunjukan pukul
sembilan malam. Entah apa yang sedang kita diskusikan, tiba-tiba saja dia
mengusap kedua mataku dengan telapak kosongnya yang lembut itu.
Selembut perasaannya kepadaku, dia mengusapnya penuh cinta. Akupun semakin
bersyukur bisa mencintainya dengan segenap baja yang hidup kokoh di hati
kecilku. Sepuluh kali usapan perlahannya memberikan pandangan baru.
Tetapi mengapa harus sepuluh usapan?
Pandangan sekejap ringan tanpa beban, udara di
sekelilingku mendadak bernada minor. Seperti ada suara banyolan binatang. Aku
sadar dan mengira bahwa banyaknya hewan mainan tak jelas di sepanjang jalan ini
terlalu senonoh. Walaupun mata ringan namun kuping pengang tidak karuan. Ada
sesuatu yang baru hadir. “Ah paling cuma
perasaan!” aku berkata sambil memegang tangan kekasihku yang licin. “Aku sudah bilang lebih baik jangan
dilakukan sayang!” Seru kekasihku. Sebenarnya dia sangat ketakutan tapi dia
menguatkan sambil memelukku erat-erat layaknya sebuah senjata di dadanya. Hari
semakin malam, aku segera menyegerakan diri untuk pulang ke rumah. Rumahku
tidak jauh dari sini jaraknya cuma sepertiga cintaku padanya. Layaknya perjalan
ke Roma menuju cinta.
Sudah semalam ini di sepanjang perjalanan pulang
masih saja banyak kemaluan penduduk Ibu Kota. Wajar saja Ibu Kota yang dipenuhi
dengan konsumerisme kemaluan jalanan bukan pendidikan. Banyak pilihan jajanan
malam pinggir batas jalan yang tersedia di setiap sudut remang-remang.
Kebetulan juga aku melewati tiga batasan daerah dalam kota yang menakjubkan.
Tetapi bukan itu yang menyorot pikiranku secara berkepanjangan. Ada sesuatu
yang terus mengikutiku dari awal perjalanan pulang. Sepertinya sosok diriku
telah terbelah menjadi dua bentuk dan lebih besar. Kerap kali aku melihat
kebelakang sosok itu sirna. Menghilang secepat kilat dari tempat duduk lega di
belakang. Oh tuhan apakah aku merindukan jajanan atau efek dari Dunhill yang
sedang ku bakar.
Sesampainya di rumah aku langsung masuk ke kamar
dengan tubuh terkujur lelah tanpa arah. Pikiran kosong membuatku melamun
sebentar sesaat sebelum memejamkan mata. Mata yang bungkam atas bualan kekasih
tentang wajah mengerikan itu memberikan sejumlah peryataan logis tentang
kejadian saat pulang. Tak logisnya sekarang sosok itu berubah menjadi harimau
bertubuhkan manusia dengan cakar pisau, Wolverin!
Mataku sepat melihat Wolverin, aku
lari ketakutan menjauhinya sampai pada penampakan sebuah lubang sumur lega.
Bukan sekedar lubang sumur, di atasnya ada tiang hitam menjulang tinggi pantas
untuk menggantung. Lebih tepatnya tiang gantung yang di gunakan untuk mencekik
nyawa tanpa mata. Tapi kenapa ada lubang air kuno dibawahnya?! Dan yang lebih
tidak masuk akal lagi, ada kekasihku melambaikan tangan dari kejauhan. Jauh
sekali dan semakin jauh tubuhnya tidak tampak. “Apakah harimau itu sudah menggoresnya? Mencongkel satu matanya? Mata
siapa yang ada di genggamanku?!.” Sambil berteriak keras aku jatuh longsor
dari atas tempat tidur.
Badanku lemas sekali dipenuhi angan-angan dan
lamunan yang siap untuk membunuhku. Kamarku menjadi sangat panas, padahal aku
tidak pernah lupa menekan tombol on setiap masuknya. Yang biasanya maksimal 16
derajat menciut begitu saja membasahi tubuh yang sudah biasa membeku. Yang
biasanya terpampang The Beatles kali
ini aku menemukan beberapa sahabat baru yang cukup memenuhi asmara di kamar.
Sosok yang benar-benar baru dalam hidup dan tak pernah ku temukan sebelumnya, “Ah! aku terlalu larut dalam lamunan?!.”
Sahabat, begitu aku memanggilnya meskipun tidak bisa
berbicara langsung padanya. Setidaknya aku bukan orang yang sedang sakit jiwa.
Kebetulan aku adalah seorang mahasiswa sastra yang sedang meneliti masalah
kejiwaan. Jika aku bisa gila karna lamunan semalam, kepribadianku sudah sulit
dideskripsikan. Seakan terguncang gunung emosi yang berbau magma membakar ego
yang sudah tidak ideal. Dan mungkin bisa dibilang superegoku jauh melampaui
batas id. Di mana popularitas hidup menjadi orang melek dalam sangkar.
Terlintas di benakku wajah Freud
dengan taringnya. Selayak harimau yang siap menghisap darah mangsanya. Lengkap
dengan cakar pisau yang sengaja dibuat untuk mencongkel mata para pendosa.
“Hidup menjadi
suram dengan penglihatan buram, buram akan nafsu dunia yang biasa menemani
kemanapun aku pergi jajan!.”
Sekarang aku sedang menambahi taring di buku teori
kepribadian Sigmund Freud karangan Ferdinand Zaviera milikku yang
terpampang jelas wajah Freud. Aku mencoba
mengubahnya dengan muncratan tinta menjadi sosok harimau. Padahal di sebelah
buku itu ada cerpen horor The Black Cat
karya Edgar Allan Poe. Sungguh
janggal mengapa harus buku teori yang aku obrak-abrik. Padahal ada cerpen
urakan di sebelahnya. Sahabat karibku spontan berkata, “untungnya hanya nampak wajah sebahu, jika ada lengannya habis sudah
buku ini kau lucuti seperti jajanan.” Persis saat itulah ibu berjubah
dengan kacamata dan lelaki sembrono paruh baya membunuhku dengan peluru tanpa
pistol dan cemohan asal-asalan. Aku tau si sembrono yang kritis itu adalah
sahabat karibku. Namun hal tersebut tidak mengurangi belas kasihanku
sedikitpun. Aku ingin secepatnya mencekik omong kosongnya di depan kemaluan
wanita berjubah yang sering tertawa karna lucunya dunia. Bagiku dunia tidak
lucu. Bahkan kelucuan itu baru muncul ketika melihat jubahnya tertiup angin dan
merosot ke dalam lubang gantungan setan! Sepanjang waktu, hari demi hari,
inilah yang terjadi. Terus menerus membanjiri kodratku, ah!
Sudah seminggu lamanya sahabatku melucuti dan
menelanjangi pikiranku. Sudah seminggu juga tak dapat kabar dari gadisku, gadis
yang ingin ku congkel matanya hingga mengeluarkan darah dan daging sisa.
Serentak tubuhku refleks bersiap untuk pergi ke sebuah jalan di perkampungan.
Perkampungan yang damai, sunyi, banyak dedaunan, dan terkenal kemerahan
datarannya. Warna kemerahanlah yang telah membuat terkenalnya jalan itu.
Tidak lama kemudian nampak lagi tiga perbatasan yang
suram akan pendidikan. Dan dengan beraninya aku sodorkan kata-kata menjijikan
abad ini lewat jendela terbuka. Air murka dari mulutku ikut terbang ke arahnya.
Menjadi sebuah lawakan khusus untuk sahabatku. Sahabat yang setia mengikutiku
sambil melotot. Mulutnya kian berbusa menusuk alam bawah sadar tempat aku
bersujud dan meminta doa. Aku bukan tipe orang yang suka memakai narkoba.
Merokok saja pun kadang aku masih minta si sembrono. Lantas mengapa harus aku
yang terbawa hitamnya dunia?!
Sesampainya di tanah berwarna merah kuparkirkan
kendaraan lusuhku tepat di atasnya. Hujan deras turun mengantarkanku untuk
melangkah ke sebuah rumah yang harumnya gemulai. Tempat singgah bidadari bukan
jenaka. Dadaku bergetar bagaikan sebilah pisau yang tertanam di saku. Masuk
menembus organ pernafasan. Tanpa harus mendobrak pintu lagi penunggunya sudah siap menyambutku dengan
tatapan dan senyum ambulan. Biasanya aku membalasnya dengan rayuan jajanan.
Kali ini aku sudah terbelenggu oleh debu kotor pantulan. Padahal hari ini sudah
kubulatkan untuk mencongkel mata sang bukan jenaka. Tetapi, keceriaan ambulan
senantiasa selalu menghantuinya selama berdenyutan denganku.
Terus menghantui meskipun dia telah membawaku ke
dalam perangkap menjijikan ini, “Apakah
kau tak sadar dengan semua lautan omong kosong ini?!,” bentakku lantan padanya
dengan buta. Kemudian aku masih saja meneriakkan cacian dan makian penuh dosa, “Usapanmu itu! Usapan yang membawaku ke
neraka!.” Sekejap gadis cantik itu langsung menangis tanpa bisa beracun dan
masuk ke kamar dimana dia bersembunyi dengan para sahabatnya.
Wanita yang sudah hampir empat tahun ngekost di
sela-sela jemariku kini jeritannya sangat kuat mengiris perih telinga dan masuk
ke lorong hati sang pujangga. Aku sakit terpojok sebagai seorang pria yang
menjunjung tinggi Patriarki, dan atas
kemaluanku sendiri. Walaupun insting kehidupan tidak bisa melampaui perasaan
cinta yang tulus seperti bengkuang. Wanita menawan itu mungkin sudah
benar-benar tidak ingin melihat apalagi berbicara dengan pangeran berjubahnya
sendiri.
“Dosa besar
atas cinta dan persahabatan, omong kosong aku telah menamai kejadian ini!”
teriakkan yang hebat diselimuti lebatnya hujan. Namun di satu sisi, dari situ
aku tau bahwa aku bukanlah orang gila karna aku masih bisa merasakan gejolak
cinta padanya.
Tak tau kenapa mata tajam yang ada di kantongku
tiba-tiba menyayat pangkal jari manisku. Ia berbicara dengan parutan matanya
yang menyusut semakin tajam! “Tidak
sahabatku jangan melihat! Satu jariku telah terlepas.” Disambut dengan
darah yang mengucur deras tanpa mengenal rintik, namun tidak juga sederas
sungai adopsi Musa. Aku tidak
henti-hentinya memanggil sahabatku!
“Oh tidak
apakah aku akan mati di sini! Di atas tanah lembek, benyek, cerah nan merah!”
Sambil menghentakkan si mata tajam aku seakan bersujud kepada sang pencipta, sujud
lamunan bukan memohon ampunan, melainkan hujatan dan cacian ketidaknyamanan
sesosok makhluk hidup!
Mungkin sahabatku akan senang jika ini menjadi buah
tangan terakhir untuk gadisku, “Dialah
yang mengenalkanku padamu” ocehku dalam pertikaian hujan dan persahabatan.
Kebetulan
hujan semakin deras aku langsung menguburnya di tanah bercorak darah di
depan kediaman itu, “Itulah ku bilang
tanah yang mengucurkan darah saat hujan!.”
Derasnya hujan dengan gemuruh petir membawa aku
berjalan menelusuri ujung tanah. Dengan manisnya darah sahabat ku sepertinya
ingin tahu apakah ujung jalan ini bisa mengobati keperihan ujung jariku.
“Sahabat, aku
bertaruh separuh jiwaku!”
“Empat tahun
sudah aku menginjakkan kaki, tak ada apapun disana.”
Ia semakin kuat mengajakku pergi ke ujung jalan.
Seperti sosok ibu yang sering mengajak anaknya bertamasya keliling kota. Aku
terus berjalan dan berjalan dengan kuyubnya hujan demi mencari semenanjung
jalan hutan. Bisa saja jalan ini buntu atau mengarah pada sebuah jurang.
“Jurang apakah
bersedia tinggal di muka yang datar?.”
Dengan santainya aku berjalan sambil meratapi
perasaan sekumpulan binatang kecil yang lemah dan tak berdaya. Tersapu hujan
dan tak bisa memoroskan badan dalam kehangatan, “mengapa sekumpulan binatang!,” aku terus saja membanjiri lautan
jalan dengan perkataan tak sedap. “Setengah
nyawa yang kugenggam,” aku mengingat kembali suara binatang yang
menghantuiku minggu lalu.
“Mereka hidup
di pikiranku!.”
Sekarang sudah tumbuh leluasa menguasai alam bawah
sadar, “tempatku memanipulasi batin, Tuhan, hanya jantung yang ku punya untuk
menggerakan tubuh ini, selebihnya binatang itu!.”
Hingga selanjutnya ternyata aku sudah berakhir di
penghujung jalan. Jalan tempat berakhirnya ajakan sahabatku itu. Obsesi jalanan
sahabatku yang liar itu. Tanpa adanya jajanan apa-apa selain daging yang
berdiri kaku dan tegak layaknya pembeli palsu yang memegang saku. Selayaknya
ruangan di tempat ini memang betul remang-remang namun terlalu redup cahayanya.
Tidak ada aroma jajanan yang melekat sama sekali, bahkan semacam bau udara juga
tak ada. Dan aku juga tak menemukan daratan yang datar sekalipun. Aku juga tak
menemukan jari manisku yang telah terkubur merahnya tanah!
Aku berdiri tinggi tanpa alas dan pembatas. Tanpa
awan dan rembulan. Oh Tuhan sangat menakjubkan! Jadi inilah akhir dari ujung
jalan itu. Akhir yang sangat ku tunggu-tunggu yang membuat sahabat jajananku
yang setia itu penasaran. Sahabat yang sekarang sudah meninggalkanku di ruangan
lega tanpa duka. Sahabat yang membawaku kepada cerobohnya malapetaka! Sahabat
yang bungkam akan peristiwa! Sahabat yang belum terkuak! Sahabat malam yang
dikenalkan oleh kekasihku!
Saat ini, di tempat ini aku sudah tidak bisa
merasakan lembutnya cinta lagi. Yang dapat kurasakan hanyalah sejempol pikiran
yang sedikit membantu mengingatkan perbuatan-perbuatan jalanan. Saat ini aku
hanya tinggal sendiri di penghujung jalan namun sepertinya bukan jalan dan
bersama mulut yang tertancap duri.
Bagiku ini adalah kehidupan yang sesungguhnya.
Tempat dimana hati tidak bisa bicara. Tidak akan ada lagi yang namanya cinta.
Setidaknya aku bersyukur sudah tidak bertemu lagi dengan sahabat jajanan yang
seperti itu. Saat ini aku sudah lega dan sangat yakin bahwa aku sudah gila.
No comments:
Post a Comment