Sabtu
(31/01/2015), Jakarta Selatan, Ayu Utami dan Erik Prasetya yaitu sepasang
suami-istri mengadakan acara bertajuk Dialog
Fotografi dan Sastra: Estetika Banal dan Spiritualisme Kritis di Galeri
Salihara. Acara tersebut sekaligus
membahas tiga buku, On Street Photography
dan Street dan Rain & Style karya Erik Prasetya dan Simple Miracle serial Spiritualisme
Kritis karya Ayu Utami. Dalam menghasilkan karya seni, mereka berdua cukup
memengaruhi dan menemukan titik temu satu sama lain di bidangnya. Hal tersebut
membuahkan karya intelektual keduanya
dalam dialog interaktif fotografi dan sastra.
Dalam
pamerannya yang dibuka sejak 18 Januari 2015, Erik mencoba menampilkan 40 lukisan
cahaya yang dikerjakannya selama 25 tahun. Dimulai dari tahun 1989 hingga 2014,
ia mencoba memotret berbagai perspektif kehidupan masyarakat kota Jakarta pada
waktu itu. Hasil potret tersebut menguak sisi fotografis kota Jakarta sejak 25
tahun silam. Konsep yang ia terapkan adalah estetika banal sebagai penghubung
dari semua foto karyanya.
Menurut
Erik, saat ini dunia fotografi sudah jauh berbeda. Seorang fotografer dapat dengan
mudah mengambil obyek fotonya tanpa harus ada tuntutan hukum dari obyek foto.
Erik mengungkapkan, “Seorang fotografer
mempunyai hutang pada objek yang difoto, dan hutang itu tidak akan pernah
terbayar. Itulah beban seorang fotografer, banyak hutang sana-sini.”
Fotografi
yang bercerita tentang panorama visual berbeda dengan sastra yang terbentuk
dari serangkaian fragmen atau kata-kata. Imajinasi dan penalaran ekstra
diperlukan ketika membaca karya sastra. “Itulah
kelemahan sastra yang tidak konkret, tapi sastra tidak punya hutang pada orang yang
ia renggut sebagai inspirasi,” ujar Ayu Utami.
“Saya iri dengan sastra. Seorang penulis hanya butuh
pensil dan kertas bekas untuk berkarya, sementara fotografi butuh serangkaian
piranti digital untuk menghasilkan gambar,” ujar Erik. “Namun
fotografi membuat imaji menjadi konkret. Hal tersebut yang tidak bisa diberikan
oleh sastra,” tanggap Ayu.
Dalam
Spiritualisme Kritis yang diangkat
sebagai tema, Ayu memberikan pilihan untuk bersikap lebih terbuka melalui karya
seni. Ia menganalogikan kisah adam dan hawa di dalam agama dengan kisah pria
dan wanita telanjang di dalam ilmu pengetahuan. Ia mengutarakan bahwa kaum
rasionalis dapat masuk ke dalam kaum agamis, sementara kaum agamis belum tentu
rasionalis.
Ia
juga memberikan pandangan tentang kebenaran dan pengetahuan. Wanita lulusan
sastra Rusia itu mengatakan, ketika manusia mengetahui sesuatu, mengetahui itu
merupakan kesalahan pertamanya dan ia salah mengetahuinya. Alasan yang Ayu
tekankan lebih mengarah pada kenyamanan setiap individu yang direnggut oleh
sudut pandang “tahu”.
Dialog
fotografi dan sastra berujung pada kesimpulan bahwa foto atau citra dan
kata-kata di dalamnya akan selalu menyelaraskan diri. Keduanya saling
menghubungkan dan membutuhkan. Foto yang sudah terbilang konkret tetap
membutuhkan caption sebagai penjelas.
Sastra pun demikian, penuh imaji sebagai bentuk nyata dari kumpulan fragmen
atau kata-kata itu sendiri. Puisi, cerpen, novel dan karya sastra lainnya tidak
akan hidup tanpa imajinasi pembacanya. Bahkan ilustrasi atau foto seringkali
digunakan penulis secara gamblang untuk mempermudah pembaca memahami sebuah
karya. Sebuah karya seni yang dibuat semakin harmoni akan merujuk pada nilai etis
dan estetis yang lebih. Maka dari itu, harmoni dari sebuah karya seni yang
berdiri sendiri tidak akan sampai berlayar ke lautan manusia.
No comments:
Post a Comment