Tuesday, March 24, 2015

Fotografi dan Sastra: Karya Seni Harmoni

Sabtu (31/01/2015), Jakarta Selatan, Ayu Utami dan Erik Prasetya yaitu sepasang suami-istri mengadakan acara bertajuk Dialog Fotografi dan Sastra: Estetika Banal dan Spiritualisme Kritis di Galeri Salihara. Acara tersebut sekaligus membahas tiga buku, On Street Photography dan Street dan Rain & Style karya Erik Prasetya dan Simple Miracle serial Spiritualisme Kritis karya Ayu Utami. Dalam menghasilkan karya seni, mereka berdua cukup memengaruhi dan menemukan titik temu satu sama lain di bidangnya. Hal tersebut membuahkan karya intelektual  keduanya dalam dialog interaktif fotografi dan sastra. 
Dalam pamerannya yang dibuka sejak 18 Januari 2015, Erik mencoba menampilkan 40 lukisan cahaya yang dikerjakannya selama 25 tahun. Dimulai dari tahun 1989 hingga 2014, ia mencoba memotret berbagai perspektif kehidupan masyarakat kota Jakarta pada waktu itu. Hasil potret tersebut menguak sisi fotografis kota Jakarta sejak 25 tahun silam. Konsep yang ia terapkan adalah estetika banal sebagai penghubung dari semua foto karyanya.
Menurut Erik, saat ini dunia fotografi sudah jauh berbeda. Seorang fotografer dapat dengan mudah mengambil obyek fotonya tanpa harus ada tuntutan hukum dari obyek foto. Erik mengungkapkan, “Seorang fotografer mempunyai hutang pada objek yang difoto, dan hutang itu tidak akan pernah terbayar. Itulah beban seorang fotografer, banyak hutang sana-sini.”
Fotografi yang bercerita tentang panorama visual berbeda dengan sastra yang terbentuk dari serangkaian fragmen atau kata-kata. Imajinasi dan penalaran ekstra diperlukan ketika membaca karya sastra. “Itulah kelemahan sastra yang tidak konkret, tapi sastra tidak punya hutang pada orang yang ia renggut sebagai inspirasi,” ujar Ayu Utami.
“Saya iri dengan sastra. Seorang penulis hanya butuh pensil dan kertas bekas untuk berkarya, sementara fotografi butuh serangkaian piranti digital untuk menghasilkan gambar,” ujar Erik. “Namun fotografi membuat imaji menjadi konkret. Hal tersebut yang tidak bisa diberikan oleh sastra,” tanggap Ayu.
Dalam Spiritualisme Kritis yang diangkat sebagai tema, Ayu memberikan pilihan untuk bersikap lebih terbuka melalui karya seni. Ia menganalogikan kisah adam dan hawa di dalam agama dengan kisah pria dan wanita telanjang di dalam ilmu pengetahuan. Ia mengutarakan bahwa kaum rasionalis dapat masuk ke dalam kaum agamis, sementara kaum agamis belum tentu rasionalis.
Ia juga memberikan pandangan tentang kebenaran dan pengetahuan. Wanita lulusan sastra Rusia itu mengatakan, ketika manusia mengetahui sesuatu, mengetahui itu merupakan kesalahan pertamanya dan ia salah mengetahuinya. Alasan yang Ayu tekankan lebih mengarah pada kenyamanan setiap individu yang direnggut oleh sudut pandang “tahu”.
Dialog fotografi dan sastra berujung pada kesimpulan bahwa foto atau citra dan kata-kata di dalamnya akan selalu menyelaraskan diri. Keduanya saling menghubungkan dan membutuhkan. Foto yang sudah terbilang konkret tetap membutuhkan caption sebagai penjelas. Sastra pun demikian, penuh imaji sebagai bentuk nyata dari kumpulan fragmen atau kata-kata itu sendiri. Puisi, cerpen, novel dan karya sastra lainnya tidak akan hidup tanpa imajinasi pembacanya. Bahkan ilustrasi atau foto seringkali digunakan penulis secara gamblang untuk mempermudah pembaca memahami sebuah karya. Sebuah karya seni yang dibuat semakin harmoni akan merujuk pada nilai etis dan estetis yang lebih. Maka dari itu, harmoni dari sebuah karya seni yang berdiri sendiri tidak akan sampai berlayar ke lautan manusia.       


No comments:

Post a Comment