Ketika sedang memegangi perut kaku berelegi, mataku memandang kuasa Tuhan di bawah payung. Indah bukan Tuhan punya lahan teduh. Semesta pula alam di bawah payung. Dengan berdiameter doa-doa, payung punya segala keabsahan untuk melihat ruang sesak awan petang. Matahari tak tampak di porosnya menyambut tenggelam. Banyak orang berlalu-lalang berhamburan di bawah hujan. Kulihat badan lembab orang-orang tak berpelindung. Sambil diselimuti angin basah penghabisan, mereka punya laju badai. Berdesakan mencocokan jam makan punya pelampias. Mungkin di meja keluarga mereka sayangi. Mungkin juga bersama kekasih yang dicintai.
Oh ya, dulu sekali aku pernah mencinta. Perempuan jauh di Barat Daya. Andai ia ajak berbuka, kupasti laju bersama mereka. Bayangkan saja Meter berbuka. Dan manisnya Hawa ingatan lama. Aku pikir fungsi payung inilah, tidak dihujani basah ingatan. Lantas payung kujatuhi ke bawah dan masih tetap berdamai bisa. Tidak kehujanan, tidak pula kebasahan. Mungkin damai bisa dengan ingatan, lapar dahaga bukan masalah lagi. Dari pandang jatuh ke rasa, dari akal jatuh ke perut. Ingatan lama jangan di bakar. Tapi dikenang pelajaran datang. Dan seketika Adzan berkumandang, aku berbuka untuk segera.
No comments:
Post a Comment