Barang kesayanganku terbelah juta menjadi serpihan-serpihan kesombongan. Terlindas roda-roda malam yang berjalan lurus di pinggir Tol. Padahal sebelumnya sudah datang pertanda buruk. Dalam dua kantung berkancing satu. Kantung kanan alat komunikasi dan yang kiri rokok sebatang. Itu adalah bagian dari jaket tebal kepunyaan malam. Malam-malam pulang dari rutinitas institusi pendidikan. Habis makan kertas-kertas tak bergambar. Tak seperti di sepinggir jalan pulang banyak gambar wanita cantik. Takaran cantik di sini ya itu, bercahaya dan menjulang tinggi agar leher sakit menopangnya. Kecuali, lampu merah yang bercahaya tiga. Fungsinya jelas mengatur dan membatasi langkah kita. Meskipun kadang kalkulasinya kurang adil atau jangan-jangan yang bilang yang musti dibedil.
Nah, saat merah nyala di perempatan pertama seseorang menegurku, "mas, mas, mas, mas, mas, mas...., rokoknya jatuh tuh." Mendengarnya samar-samar aku jawab sambil tersenyum, "makasih ya mas, tapi gapapa tinggal sebatang." Melihatnya jatuh di tengah jalan, aku tak acuh dan fokus menikmati nuansa seorang teman yang namanya Biru. Dan seketika hijau datang bersyukurlah aku bisa melanjutkan lagi nikmatnya pulang malam. Sudah cukup indah di temani Biru dan rembulan.
Menelusuri padatnya empat lampu merah di pinggir Tol. Sambil mengendus-endus wangi angin malam. "Oh, Bir...." belum sempat kusematkan Birunya, sudah kilat menghilang. Padahal plastik busa masih menempel mono meskipun dengan balutan kain batik dan pelindung kepala.
Kupingku masih juga belum elok dimanja. Meraba-raba kantung kanan yang cukup sempit untuk menaruh bungkus nikotin. Loh, satu kancingnya terlepas! Dan ternyata alat pemutarnya yang jatuh ditarik oleh gravitasi. Ia pasti kalah bertengkar dengan angin jahat. Langsung bergegas aku menepi ke pinggir jalan. Melihat ke belakang segerombolan mesin-mesin sedang melindas kotak langsing persegi panjang. Sampai aku meraihnya sudah tak berbentuk wajah lagi. Tak bercahaya dan tak ada bunyinya. Oh, Biru ke mana perginya! Singkatnya, aku bawa pulang saja partikel-partikel tersebut. Sebagai tanda bukti keluh kesah untuk ibu. Kenapa aku baru ingat ibu ketika musik berhenti dan tak mau kembali?
Sungguh malang tak pernah dengar lagi lagu ibu.
Nyanyian ibu adalah doa yang bersahaja.
Sungguh berdoanya manusia butuh tulus, ikhlas dan khusyuk.
Sebut saja ucap sepuluh kata, mengandainya sudah seribu frasa.
Sungguh mata air kasih sayang yang muncul dari bawah tanah suci,
lewat doa-doa yang keluar dari dalam buku kalbu milik seorang ibu untuk anaknya.
No comments:
Post a Comment