Aku pernah membaca beberapa ulasan dari Jean-Paul Sartre tentang filosofi hidup yang salah
satunya berisikan kalimat "We are our choices." Begitu sulit
memaknainya. Masih menggali-gali makna kalimat tersebut. Hingga setibanya aku
di tengah-tengah di antara permukaan dan langit tua. Saat dilahirkan di Negeri
yang sudah merdeka ini, orang tuaku memberikan nama putra pertamanya Indera.
Aku pernah bertanya pada mereka, berapa lamakah waktu yang dibutuhkan untuk
memutuskan namaku itu. Sambil menggenggam tangannya mereka menjawab, "dua
puluh empat jam setelah lonceng pernikahan dibunyikan." Dan kini umur
pernikahan mereka sudah menginjak angka yang ke enam puluh. Hal tersebut
membuatku penasaran tentang berapa lama mereka memutuskan untuk menikah. Tanpa
harus ditanya lagi mereka berkata sambil menyenderkan kepala satu sama lain,
"empat tahun sebelum cincin bersemat ke jari manis." Sungguh
manis bukan. Sangat bersemangat mendengarnya. Rasanya ingin mengulang kembali
hari dimana aku menikah. Dan dengan membawa sebuah ideologi pilihan, pernikahan
akan menuntun dengan bijak. Tanpa harus mempengaruhi subjektivitasku terhadap
budaya pernikahan populer yang sedang berkembang.
Di awal pernikahan, aku menikmati masa-masa itu meskipun
hanya seumur jagung. Sehabis pulang kerja selalu ada permainan malam. Hanya
sebatas permainan malam yang dapat dinikmati. Sebelum malam tiba yang dilakukan
istriku adalah membawa pulang botol-botol minuman import. Ia adalah kolektor
botol import kelas Teri. Buktinya tak sampai malam ia sudah tiba di rumah.
Logisnya karena pernikahan baru disiagakan saja. Sebulan kemudian barulah ia
naik ke kelas Kakap. Pulang dengan kantung mata setengah tertutup. Baju
dan rambut porak poranda. Lantai rumah kadang dibuatnya berceceran sampah yang
diolah oleh lambungnya sendiri. Benar-benar pahit kelakuannya. Sedikitpun aku
tak mencintainya. Tak peduli juga yang sebaliknya ia rasakan. Beranjak bulan
ketiga, ia pergi begitu saja entah kemana. Menghilang ditelan botol minuman.
Kepergiannya sangat menusuk hati kedua orang tuaku. Karena mereka sendirilah
yang menakdirkan pernikahan itu atas dasar dadu orang tua.
Di dunia pergaulan, wajahku sungguh berparas lebar. Sebagian
teman-temanku berprofesi sebagai artis sinetron dan musisi kejar tayang.
Sebagiannya lagi sebagai aktivis, penyair dan budayawan. Pembicaraan
teman-teman artis dan pemusik cenderung fokus pada fashion terpopuler dan mobil
sporty gaya Eropa. Namun, sebaliknya teman-teman idealis sosialisku lebih
senang membicarakan nasib dan fenomena kehidupan. Bagi mereka, segala sesuatu yang
sederhana sangatlah rumit. Ketika berada di kedua jalur tersebut aku nyaman-nyaman
saja. Selalu menanggapi hal-hal rasional maupun tidak rasional yang mereka buat
dengan positif. Sambil menggenggam perhiasan di balik tangan. Anehnya selama berada
di dua kubu, perhiasan itu selalu tersembunyi dalam-dalam. Terkubur dari
pandangan mereka. “Atau jangan-jangan bukan
perhiasan? Atau mungkin cuma sekedar keragu-raguan?” Aku lemah tak berdaya.
Setia dengan kecemasan. Dan terbawa mereka ke dalam arus ketidakpilihan. “Apakah ini yang dinamakan ketidaknyamanan?”
Kembali dibingungkan pada pilihan. Ketika dilibatkan dalam
Pemilihan calon pemimpin akupun demikian. Teman-teman yang sebagian duduk di
kursi politik coba mempengaruhiku. Si A lah yang terbaik karena tegas dan
berwibawa. Sementara dari perspektif teman-temanku yang duduk di bangku hukum
mengatakan si B lah yang pantas memimpin atas dasar kesederhanaan dan
ketidakmelanggaran. Melihat fakta yang beredar, ternyata banyak di antara
mereka yang bekerja sambilan sebagai Buzzer
Politik untuk memenuhi kebutuhan Tersier. Tak jauh berbeda dengan politik di
media populer, televisi. Masyarakat dihadapkan pada dua stasiun televisi
ternama yang saling berlomba. Membicarakan calon pasangan mereka masing-masing.
Media yang satu fokus mencitrakan pasangan nomor satu dan yang satu lagi fokus
di pasangan nomor dua. “Apakah aku yang
terlalu naif dan subjektif menilai media Posmodern ini? Atau mungkin hanya kebetulan saja
timingnya?” Pada akhirnya, narasi polos Ayah yang berhasil membawa jari
tengahku berpoleskan tinta biru. Ia hanya tak ingin orang-orang di sekitar
rumah kesal melihat jariku.
Beruntungnya arus ketidakpilihan itu perlahan-lahan
berhenti. Setelah aku mulai bekerja di rumah. Bekerja dari pagi hingga larut
malam. Awalnya sangat sulit sekali. Bekerja sendiri dalam ruangan sunyi.
Meskipun peghasilan materinya tak ada, aku rasa sah-sah saja. Masih sama-sama kerja
sebutannya. Dan kini, teman-temanku adalah milyaran kata-kata. Coba bayangkan,
aroma pekerjaan ini seperti bunga mawar. Kata dan makna mengalir dengan harumnya.
Mencintai aroma mawar membuat egoku terjun mengapung di selokan. Beberapa kali
ada saja orang asing datang untuk sekedar menanyakan kata-kata. Aku menjawabnya
dan ia pulang meninggalkan uang. Pekerjaan yang bermanfaat bukan. Di samping
itu, aku masih saja merasa melayang-layang di tengah-tengah, di antara
permukaan dan langit tua. Pernah sesekali Ayahku yang sudah lanjut usia itu
bertanya, "Indera, kamu toh sudah sarjana, kenapa hanya duduk di ruang
kerja saja?" Aku menjawabnya, "Ayahku tercinta, maafkan aku,
kelak aku pasti akan membawakanmu sebongkah permata, sekarang aku hanya dapat
memberikanmu buku-buku tua saja." Ia langsung beranjak mendekat ke
rak. Mengambil salah satu bukuku yang berjudul "L'Imaginaire."
Saat ini, aku baru saja bangun dari tidur panjang.
Membangunkanku, sinar matahari pagi masuk ke sudut ruangan. Sepertinya masih
berada di ruang kerja. Aku ingin menyambut pagi yang cerah ini dengan secangkir
kopi panas dan lagu-lagu lama. Cahaya pagi yang mempesona di sudut ruang. Aku menyegerakan
bangkit melihati ruang dan pergi membuat kopi. Anehnya ada dua buah toples kopi
yang sama namun berbeda isinya. Kubuat saja keduanya ke dalam dua cangkir yang
berbeda pula. Kebetulan cangkirnyapun hanya ada dua. Dan ketika membuka laci
tempat penyimpanan vinyl, aku hanya dihadapankan dengan dua buah piringan hitam.
Sepertinya group band asal Amerika tahun
60an terpampang di pinggiran vinyl. Sayangnya, sama sekali tak ada nama band
atau jenis musik keduanya. Dan tanpa basa-basi lagi keduanya kusetel bersamaan.
Yang satu di turntable merek A, yang satu lagi di merek B. Sambil menyeruput
kedua cangkir kopi panas dengan bersamaan, aku sangat menikmati dua musik yang
saling bertabrakan. Dalam benakku terucap kata-kata, "Terima kasih Tuhan,
aku sangat bersyukur atas banyaknya nikmat dan karunia yang Kau berikan
untukku."
ketika seseorang dihadapkan pada dua pilihan, entah pilihan itu baik atau buruk, benar atau salah, secara tidak langsung kita harus merasakan hidup diantara keduanya terlebih dahulu untuk mengetahui mana diantara keduanya yang lebih mendatangkan kebaikan.
ReplyDeleteTerima kasih Rinda Utari.
Delete