Friday, January 23, 2015

KARYA SASTRA: FIKSI, TEORI DAN MASYARAKAT

Oleh: Hakim Akhsan

Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan.  
Plato

Sastra merupakan lembaga sosial yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial (Sapardi, 1979: 1). Sastra atau bukan dalam kehidupan sosial, kegiatan membaca tidak jauh berbeda dengan mendengar, sementara kegiatan menulis sama halnya dengan berbicara di kerumunan  masyarakat. Kenyataan sosial bahwa ketika kita berkumpul bersama masyarakat kadang-kala kita hanya sekedar datang untuk melepas tawa dan dahaga. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika kita hanya membaca atau menulis karya sastra dan tidak pernah mengenal kehidupan nyata? Apakah kita dapat mengenal kehidupan nyata lewat karya sastra yang kita baca?   
Berbagai-macam bentuk karya fiksi seperti novel, cerpen, ataupun puisi memiliki andil yang cukup besar dalam bidang sosial dan kesusastraan. Terutama dampaknya bagi para pembaca sastra mulai dari kalangan remaja hingga dewasa. Banyak remaja yang menyukai karya fiksi yang mengandung unsur imajinasi bertemakan cinta, modernitas, gaya hidup dan sebagainya atau dikenal dengan istilah teenlit atau chicklit. Jika dilihat dari segi substansial aspek linguistiknya, chicklit termasuk ke dalam karya sastra yang bersifat populer. Dengan mengusung kisah romantis yang menjurus pada kosmopolitanisme, tema itu sendiri dibuat sepopuler dan semodern mungkin dengan kandungan emosi yang cukup dalam agar menyentuh perasaan para pembacanya. Hingga membawa mereka berimajinasi tentang cinta masa kini dan kadangkala terlarut dalam kisah cintanya, tidak menutup kemungkinan juga bahwa nilai moral yang terkandung di dalam bacaan tersebut luntur begitu saja.
Sebenarnya setiap karya sastra yang baik selalu menyajikan dan menyuguhkan soal-soal filosofis. Sebagai contoh, bisa saja kita menyajikan filsafat dalam bentuk novel dan menjadikannya lebih unik agar mudah dimengerti. Dengan cara demikian, pembaca dituntut untuk lebih mudah memahami teori-teori bersamaan dengan tokoh dan elemen sastra di dalamnya. Tokoh fiksi, alur cerita, latar, dan unsur-unsur lain dalam jenis novel tersebut sangat membantu pikiran dalam memahami, mengingat dan menstimulasi nilai moral bersamaan dengan teori di dalamnya.
Sebut saja sebuah novel filsafat Dunia Sophie (1991) karya Jostein Gaarder. Novel tersebut mengulas tentang sejarah, teori dan konsep filsafat dari dalam akarnya. Lewat petualangan tokoh seorang gadis remaja Sophie Admundsen yang memiliki rasa keingintahuan tinggi, Gaarder menjelaskan rentetan teori filsafat yang menembus sejarah dimulai dari masa dimana orang-orang masih sangat percaya pada dewa hingga masa dimana kita berdiri saat ini. Di samping itu, novel tersebut juga sangat kaya akan makna dalam setiap kalimatnya.
Jika dibandingkan dengan yang ada di buku-buku teori filsafat, kalimat-kalimat berharga para filsuf dalam Dunia Sophie dapat lebih mudah dipahami. Sebenarnya alasannya cukup jelas, selain ditulis dengan sudut pandang dan gaya penulisan yang cukup sederhana dan imajinatif, di dalamnya juga terdapat elemen-elemen sastra yang membantu menstimulasi pikiran para pembaca ke dalam dunia filsafat. Mungkin saja setelah membaca dan memahami pentingnya filsafat dalam Dunia Sophie akan tercipta individu baru yang lebih dapat memaknai hidup ini.  
Tidak jauh berbeda dengan Dunia Sophie, novel Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo (1997) karya Arthur Asa Berger mengulas fiksi sekaligus post-modern, peradaban, era dan perkembangan budaya populer. Di dalamnya terdapat berbagai macam teori dan konsep tentang post-modernisme yang disampaikan lewat beberapa tokoh. Dengan mengusung tema detektif, pembaca disuguhkan pernyataan-pernyataan ambigu tentang motif pembunuhan seorang Profesor Posmo. Bagaimana mungkin seseorang dibunuh dengan empat cara sekaligus dalam waktu yang bersamaan?
Namun, alur ceritanya tidak seperti cerita detektif kebanyakan. Memang ada tokoh detektif yang memeriksa para saksi, tapi keterangan saksi itu sendiri malah terkait dengan sarangkaian kuliah mengenai post-modernisme. Alhasil, setelah membaca keseluruhan  Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo pengetahuan, pemahaman dan kepekaan kita akan postmodernisme semakin mendalam. Jika masih belum dapat mendalaminya juga jangan khawatir, sebab post-modern saja tidak menuntut pada kedalaman. Setidaknya, melalui karya fiksi tersebut kita sudah diberikan contoh nyata bagaimana bergulat dengan masyarakat post-modern.                
Novel Dunia Sophie dan Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo sudah cukup baik menyadurkan fiksi dengan teori di dalamnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa novel tersebut ditulis agar para pembaca menjadi lebih peka terhadap masyarakat di sekelilingnya. Di era ini, kepekaan para pembaca karya fiksi tentang fungsi nilai implisit maupun eksplisit dalam sebuah karya masih begitu rendah. Ditambah dengan jumlah penikmat sastra yang masih jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah pemikir atau pengkritik sastra. Pembaca sastra yang peka senantiasa akan mengaplikasikan nilai moral yang nampak pada sumber bacaannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain bermanfaat bagi dirinya sendiri, manfaat tersebut juga dapat dibagikan kepada masyarakat luas.

Referensi
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra. Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.


No comments:

Post a Comment