Oleh: Hakim Akhsan
Sastra adalah hasil peniruan atau gambaran dari kenyataan.
Plato
Sastra merupakan lembaga sosial
yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Bahasa itu sendiri merupakan ciptaan
sosial. Sastra menampilkan gambaran kehidupan, dan kehidupan itu sendiri adalah
suatu kenyataan sosial (Sapardi, 1979: 1). Sastra atau bukan dalam kehidupan
sosial, kegiatan membaca tidak jauh berbeda dengan mendengar, sementara
kegiatan menulis sama halnya dengan berbicara di kerumunan masyarakat. Kenyataan sosial bahwa ketika kita
berkumpul bersama masyarakat kadang-kala kita hanya sekedar datang untuk
melepas tawa dan dahaga. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana jika kita hanya
membaca atau menulis karya sastra dan tidak pernah mengenal kehidupan nyata? Apakah
kita dapat mengenal kehidupan nyata lewat karya sastra yang kita baca?
Berbagai-macam bentuk karya
fiksi seperti novel, cerpen, ataupun puisi memiliki andil yang cukup besar
dalam bidang sosial dan kesusastraan. Terutama dampaknya bagi para pembaca
sastra mulai dari kalangan remaja hingga dewasa. Banyak remaja yang menyukai karya
fiksi yang mengandung unsur imajinasi bertemakan cinta, modernitas, gaya hidup dan
sebagainya atau dikenal dengan istilah teenlit
atau chicklit. Jika dilihat dari segi
substansial aspek linguistiknya, chicklit
termasuk ke dalam karya sastra yang bersifat populer. Dengan mengusung kisah romantis
yang menjurus pada kosmopolitanisme, tema itu sendiri dibuat sepopuler dan
semodern mungkin dengan kandungan emosi yang cukup dalam agar menyentuh
perasaan para pembacanya. Hingga membawa mereka berimajinasi tentang cinta masa
kini dan kadangkala terlarut dalam kisah cintanya, tidak menutup kemungkinan juga
bahwa nilai moral yang terkandung di dalam bacaan tersebut luntur begitu saja.
Sebenarnya setiap karya sastra
yang baik selalu menyajikan dan menyuguhkan soal-soal filosofis. Sebagai
contoh, bisa saja kita menyajikan filsafat dalam bentuk novel dan menjadikannya
lebih unik agar mudah dimengerti. Dengan cara demikian, pembaca dituntut untuk
lebih mudah memahami teori-teori bersamaan dengan tokoh dan elemen sastra di
dalamnya. Tokoh fiksi, alur cerita, latar, dan unsur-unsur lain dalam jenis novel
tersebut sangat membantu pikiran dalam memahami, mengingat dan menstimulasi
nilai moral bersamaan dengan teori di dalamnya.
Sebut saja sebuah novel filsafat
Dunia Sophie (1991) karya Jostein
Gaarder. Novel tersebut mengulas tentang sejarah, teori dan konsep filsafat
dari dalam akarnya. Lewat petualangan tokoh seorang gadis remaja Sophie
Admundsen yang memiliki rasa keingintahuan tinggi, Gaarder menjelaskan rentetan
teori filsafat yang menembus sejarah dimulai dari masa dimana orang-orang masih
sangat percaya pada dewa hingga masa dimana kita berdiri saat ini. Di samping
itu, novel tersebut juga sangat kaya akan makna dalam setiap kalimatnya.
Jika dibandingkan dengan yang
ada di buku-buku teori filsafat, kalimat-kalimat berharga para filsuf dalam Dunia Sophie dapat lebih mudah dipahami.
Sebenarnya alasannya cukup jelas, selain ditulis dengan sudut pandang dan gaya
penulisan yang cukup sederhana dan imajinatif, di dalamnya juga terdapat
elemen-elemen sastra yang membantu menstimulasi pikiran para pembaca ke dalam
dunia filsafat. Mungkin saja setelah membaca dan memahami pentingnya filsafat dalam
Dunia Sophie akan tercipta individu baru
yang lebih dapat memaknai hidup ini.
Tidak jauh berbeda dengan Dunia Sophie, novel Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo (1997) karya Arthur Asa Berger mengulas
fiksi sekaligus post-modern, peradaban, era dan perkembangan budaya populer. Di
dalamnya terdapat berbagai macam teori dan konsep tentang post-modernisme yang
disampaikan lewat beberapa tokoh. Dengan mengusung tema detektif, pembaca
disuguhkan pernyataan-pernyataan ambigu tentang motif pembunuhan seorang
Profesor Posmo. Bagaimana mungkin seseorang dibunuh dengan empat cara sekaligus
dalam waktu yang bersamaan?
Namun, alur ceritanya tidak
seperti cerita detektif kebanyakan. Memang ada tokoh detektif yang memeriksa
para saksi, tapi keterangan saksi itu sendiri malah terkait dengan sarangkaian
kuliah mengenai post-modernisme. Alhasil, setelah membaca keseluruhan Terbunuhnya
Seorang Profesor Posmo pengetahuan, pemahaman dan kepekaan kita akan postmodernisme
semakin mendalam. Jika masih belum dapat mendalaminya juga jangan khawatir,
sebab post-modern saja tidak menuntut pada kedalaman. Setidaknya, melalui karya
fiksi tersebut kita sudah diberikan contoh nyata bagaimana bergulat dengan
masyarakat post-modern.
Novel Dunia Sophie dan Terbunuhnya
Seorang Profesor Posmo sudah cukup baik menyadurkan fiksi dengan teori di
dalamnya. Tidak menutup kemungkinan bahwa novel tersebut ditulis agar para pembaca
menjadi lebih peka terhadap masyarakat di sekelilingnya. Di era ini, kepekaan para
pembaca karya fiksi tentang fungsi nilai implisit maupun eksplisit dalam sebuah
karya masih begitu rendah. Ditambah dengan jumlah penikmat sastra yang masih
jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan jumlah pemikir atau pengkritik
sastra. Pembaca sastra yang peka senantiasa akan mengaplikasikan nilai moral
yang nampak pada sumber bacaannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain bermanfaat
bagi dirinya sendiri, manfaat tersebut juga dapat dibagikan kepada masyarakat
luas.
Referensi
Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra. Sebuah
Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan.
No comments:
Post a Comment